Senin, 22 Oktober 2012

Implementasi Teori Komunikasi dalam Praktik Pembelajaran Matematika


Dalam proses pembelajaran, komunikasi menjadi kunci yang cukup penting untuk mencapai tujuan pembelajaran. Apalagi dalam pembelajaran matematika yang sering dianggap sulit bagi siswa. Seorang guru, betapapun pandai dan luas pengetahuannya, bila tidak mampu mengkomunikasikan pikiran, pengetahuan, dan wawasannya, tentu tidak akan mampu mentransformasi pengetahuannya kepada para siswanya.
Gugusan pengetahuannya hanya menjadi kekayaan diri yang tidak tersalur kepada para siswanya (Naim, 2011:28). Oleh karena itu, komunikasi guru dalam pembelajaran matematika sangat penting artinya agar pesan yang ingin disampaikan dapat tepat sasaran.
Agar pesan yang disampaikan tepat sasaran dan mencapai hasil optimal, menurut Muhammad (2007:5-7) ada beberapa unsur penting dalam proses komunikasi, yakni komunikator (sender), pesan (message), komunikan (receiver), saluran (channel), dan umpan balik (feed back). Komunikator (sender) merupakan pihak yang berperan sebagai pengantar pesan. Komunikator adalah orang yang mempunyai ide atau informasi. Sebelum komunikator mengantar pesan, komunikator harus menentukan arti pesan, sehingga pesan yang disampaikan dapat dipahami oleh orang yang menerima pesan sesuai dengan yang dimaksudkannya. Sesuatu yang melekat pada seorang komunikator adalah, (1) pengetahuan, ide dan pengalaman-pengalaman, (2) sikap, kepercayaan dan nilai-nilai, (3) kebutuhan, keinginan dan tujuan-tujuan, (4) kepentingan (5) kelompok dan pesan kelompok, dan (6) kemampuan berkomunikasi serta persepsi dari elemen-elemen lainnya (Illyas, 2009:15).
Bila seseorang berkomunikasi dan mereka telah mempunyai pengalaman hidup yang sama, maka mereka memiliki kesempatan dapat berhubungan satu sama lain dengan cara yang efektif. Akan tetapi, bila pengalaman peserta komunikasi itu berbeda, maka mereka menemukan kesulitan dalam melakukan interaksi atau dalam memahami satu sama lain. Jadi, proses komunikasi akan berlangsung baik jika antar sumber (komunikator) dan penerima terdapat pertautan kesamaan minat dan kepentingan. Pertautan minat dan kepentingan ini akan terjadi jika terdapat persamaan persepsi terhadap pesan antara komunikator dan penerima pesan. Dalam proses pembelajaran, karena peran guru sebagai komunikator, maka ia harus memiliki kemampuan menyampaikan pesan yang  benar, sehingga pesan dapat tersampaikan kepada siswa.
Penerima pesan (komunikan) dapat seseorang atau kelompok orang. Selain itu, itu dapat juga organisasi atau institusi yang menjadi objek penerima pesan. Sekalipun penerima merupakan individu yang menerima sesuatu pesan, tidaklah berarti sebagai penerima yang pasif. Penerima pesan (komunikan) harus aktif menarik pesan dan memberikan pengertian serta memberi interpretasi. Dalam berlangsungnya proses komunikasi, penerima membawa pengalamannya, prasangka, kebutuhan, kemauan serta keinginan-keinginannya. Variabel-variabel ini turut berpengaruh serta membantu penerima pesan dalam menentukan pengertian pesan yang ada atau digunakan, serta respon-respon yang dilakukannya terhadap pesan yang diterimanya. Dalam berbagai situasi, penerima memberikan rangsangan yang mendasar terhadap sumber pesan (komunikator) melalui proses tanggapan balik.
Pesan (message) adalah informasi yang akan disampaikan oleh komunikator. Pesan merupakan isi dari suatu tindakan komunikatif. Pesan dapat berbentuk verbal atau non verbal dan pesan akan efektif bila diorganisir secara baik dan jelas (Mulyana, 2005:5). Pesan verbal dapat secara tertulis dan secara lisan. Pesan non verbal dapat berupa mimik atau gerakan anggota tubuh seperti anggukan kepala (isyarat setuju), menggeleng kepala (isyarat menolak), melambaikan tangan (isyarat selamat jalan) dan sebagainya (Muhammad, 2007:17-18). Suatu pesan mempunyai inti pesan yang sebenarnya menjadi pengarah dalam usaha guru mengubah sikap dan tingkah laku siswa sebagai komunikan. Pesan dapat disampaikan secara panjang lebar yang mengupas berbagai segi, namun inti pesan dari komunikasi akan selalu mengarah kepada tujuan akhir dari proses komunikasi itu sendiri.
Saluran (channel) adalah jalan atau alat yang dilalui pesan dari komunikator dengan komunikan (Muhammad, 2007:18). Alat penyampaian pesan, bisa disebut dengan media. Andersen mengatakan the channel is the medium in which the message exist. Saluran dapat berbentuk fisik atau hal-hal yang dapat mempengaruhi mekanisme penginderaan penerima pesan (komunikan) (http://jurusankomunikasi. blogspot.com/2009/05/proses-komunikasi.html). Segala sesuatu yang dapat mempengaruhi indera penglihatan, penciuman, pendengaran, perabaan serta perasaan dapat berfungsi sebagai medium komunikasi. Contohnya, ketika guru menyampaikan materi pelajaran tidak secara langsung mengkomunikasikan dengan kata-kata tetapi dengan multimedia yang berkembang saat ini seperti, visual room, OHP/OHT (overhead projec/overhead transparency) dan masih banyak yang lainnya.
Umpan balik (feedback) merupakan tanggapan atas pesan yang dikirimkan oleh komunikan. Tujuannya adalah untuk mengecek apakah komunikan mengerti atau memahami pesan yang dimaksud   komunikator. Dengan diberikannya tanggapan ke pengirim, pengirim akan dapat mengetahui pesan yang diinterpretasikan sama dengan yang dimaksudkan pengirim. Bila arti pesan yang dimaksudkan oleh pengirim diinterpretasikan sama oleh si penerima berarti komunikasi tersebut efektif (Muhammad, 2007:18).
Keberadaan kelima unsur komunikasi tersebut dalam proses komunikasi sejalan dengan pemikiran para ahli psikologi beraliran konstruktivisme. Asumsi konstruktivis dalam berkomunikasi adalah seseorang menciptakan dan memahami pesan yang dihasilkan dan didengar dalam percakapan didasarkan pada konstruk yang dikembangkan. Artinya, konstruk selanjutnya didapat melalui interaksi sosial, sehingga memungkinkan untuk membuat dan memodifikasi interpretasi seseorang tentang dunia sosial. Komunikasi hanyalah satu bentuk strategi interaksi sosial.
Komunikasi dalam matematika merupakan hal yang penting, karena menciptakan kesempatan pembelajaran yang tidak ditemukan dalam kelas tradisional baik untuk siswa dan guru. Dalam seting ini, guru memiliki kesempatan untuk mempelajari proses konstruksi siswa berkaitan dengan pemahamannya terhadap matematika. Peran utama guru matematika adalah menciptakan kelas sehingga semua siswa dapat mengkomunikasikan pikiran dan tindakannya terkait matematika.
Seorang guru matematika yang konstruktivis akan mampu menyusun pesan-pesan retorik yang logis dan dapat menciptakan pesan-pesan yang berfokus kepada siswanya. Sebagai sebuah teori, konstruktivisme berkaitan dengan proses kognitif seseorang yang melakukan komunikasi pada situasi tertentu (Grant, 2009:5). Teori ini menempatkan siswa sebagai seorang yang mampu memahami makna pelajaran matematika menurut dunianya sendiri, dengan menempatkan matematika sebagai hal yang menyenangkan sehingga dapat menambah motivasi siswa dalam belajar matematika.
Para ahli konstruktivis komunikasi mencoba mengidentifikasi sifat-sifat seseorang, bagaimana mereka menghubungkan dengan beragam pesan, pengaruh situasi  pesan dan proses aktual yang menghasilkan pesan. Komunikasi bersifat sosial, namun sesuatu yang terjadi disaring dan dibangun melalui pikiran yang terpisah dari seseorang yang terlibat. O’Keefe (Littlejohn & Foss, 2009:188-189) mengemukakan Message Design Logic Theory (teori logika desain pesan) dan menemukan bahwa setidaknya terdapat tiga logika desain pesan yang sangat berbeda dan digunakan oleh seseorang. Logika desain pesan merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan alasan implisit tentang komunikasi. Ketiganya adalah logika desain ekspresif, konvensional, dan retorikal.
Logika desain pesan ekspresif memandang bahwa komunikasi merupakan proses bagi individu untuk mengungkapkan dan menerima pikiran dan perasaannya. Logika ini berasumsi bahwa setiap orang menghasilkan jenis pesan dengan cara yang sama. Komunikator jenis ekspresif percaya bahwa penerima pesan akan memahami ucapannya sepanjang dia berkata secara terbuka, langsung dan jelas. Komunikasi biasanya diorganisir karena reaksi atas kejadian dan pikiran sebelumnya. Pesan cenderung sebagai reaksi terhadap keadaan saat itu. Artinya pesan ini tidak membedakan antara isu-isu yang secara objektif relevan dan hal ini hanyalah relevan secara subjektif.
Pada logika desain konvensional, komunikator melihat komunikasi sebagai suatu permainan bersama yang dimainkan menggunakan aturan-aturan prosedur konvensional. Pesan diorganisir untuk tujuan mendapatkan respon khusus dari seseorang yang menerima pesan. Jadi, setiap orang diharapkan untuk memainkan “permainan” melalui mendengar konteks komunikasi dan menarik kesimpulan apa yang dimaksud penyampai pesan. Penyampai pesan pada jenis desain pesan ini menggunakan aksi yang dianggap sebagai cara yang tepat bagi penerima pesan. Sayangnya, pesan jenis ini akan koheren dan bermakna bilamana semua kelompok yang terlibat mengikuti aturan dan norma yang sama terkait konteks. Komunikasi dinilai berhasil ketika individu yang terlibat menunjukkan reaksi dengan tepat.
Selanjutnya, teori logika desain pesan retorika berasumsi bahwa komunikasi merupakan kreasi dan negosiasi dari situasi dan sosial sendiri. Seseorang yang menggunakan desain pesan ini menyadari bahwa makna dari pesannya tidak tetap, tetapi bagian dari realitas sosial yang harus diciptakan. Pesan yang diungkapkan secara eksplisit didesain untuk mencapai tujuan dibandingkan hanya sekedar merespon situasi. Komunikator jenis ini akan berbeda penggunaan gaya bahasanya untuk mendefinisikan realitas simbolis penyampai pesan sehingga penerima pesan dapat membuat suatu interpretasi yang dapat diterima dan menjadi termotivasi agar memberikan suatu respon yang dapat diterima. Kesuksesan berkomunikasi ditandai dengan komunikasi yang halus dan koheren.
Berdasarkan uraian di atas, maka setiap guru matematika tentu memiliki kecenderungan tersendiri selama berkomunikasi dalam pembelajaran, apakah dalam kategori ekspresif, konvensional, retorikal atau kombinasi dari ketiganya. Lebih lanjut, bila ditelusuri, ada banyak faktor yang turut berkonstribusi terhadap pemilihan logika desain pesan yang dilakukan oleh seorang guru dalam menyampaikan pelajaran, seperti pengalaman kerja, latar belakang pendidikan, jumlah (populasi) siswa dalam kelas, maupun jenis kelamin guru.
Pengalaman yang dimiliki oleh seorang guru matematika akan memberikan dasar kepada guru dalam melakukan kegiatan pembelajaran. Pengalaman mengajar dalam waktu yang lama secara teoritis tentu akan mampu menciptakan komunikasi yang lebih baik dibandingkan dengan pengalaman mengajar dalam waktu yang relatif sedikit (Naim, 2011:9). Seorang guru yang  memiliki pengalaman lama, tidak berusaha mendorong siswanya mempelajari sesuatu di luar kemampuannya. Ia tidak akan memompakan konsep atau hal-hal terkait matematika ke otak anak  yang tidak sesuai dengan kematangannya atau tidak sejalan dengan pengalamannya yang lalu (Daradjat, 2005:15).
Latar belakang pendidikan seorang guru juga memberikan kontribusi terhadap kualitas dan kemampuan guru dalam menyampaikan pesan ke siswa. Perbedaan latar belakang pendidikan guru, didasarkan pada jenis dan perjenjangan dalam pendidikan. Pendidikan guru merupakan pendidikan yang ditempuh oleh seorang guru agar memiliki kualifikasi dan kompetensi yang memadai sesuai dengan tugas profesinya (Hamalik, 2008:122). Hal ini bertujuan untuk membentuk sikap dan tingkah laku seorang guru di dalam proses pembelajaran.
Populasi siswa di dalam suatu kelas diduga juga dapat mempengaruhi proses pembelajaran yang berlangsung. Apabila populasi siswa sebagai komunikan sangat banyak, maka akan sukar dijangkau secara perorangan oleh guru sebagai komunikator pembelajaran (Hamalik, 2008:206). Populasi siswa yang terlalu banyak dapat pula mempengaruhi lemahnya kemampuan guru dalam menyampaikan pesan, sehingga pesan yang disampaikan tidak jelas diterima oleh para siswa. Oleh karena itu, guru yang mengajar dengan populasi siswa yang lebih sedikit akan memiliki gaya komunikasi yang lebih baik dibandingkan dengan guru yang mengajar dengan populasi siswa yang lebih lebih banyak. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Forrest (2008:14) menunjukkan bahwa gaya komunikasi guru dalam menyampaikan pesan (materi pelajaran) bergantung pada populasi siswa di dalam kelas. 
Berdasarkan paparan di atas, penting dilakukan penelitian tentang gaya komunikasi guru matematika, yang dilihat dari berbagai aspek seperti pengalaman mengajar, latar belakang pendidikan guru, dan populasi siswa dalam satu kelas. Gaya komunikasi dalam penelitian ini mengacu dan difokuskan pada teori logika desain pesan (Message Design Logic Theory) yang dikemukakan oleh O’Keefe. Masalah yang diteliti dirumuskan: “Apakah pemilihan logika desain pesan yang dilakukan guru matematika SMP/MTs terkait dengan pengalaman mengajar, latar belakang pendidikan guru, dan populasi siswa dalam satu kelas?” Dengan demikian, tujuan penelitian ini adalah untuk menginvestigasi keterkaitan pemilihan logika desain pesan yang dilakukan guru matematika SMP/MTs dengan pengalaman mengajar, latar belakang pendidikan guru, dan populasi siswa dalam satu kelas. 
Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian survei (Sugiyono, 2011) yang memfokuskan pada proses investigasi keterkaitan antara penyampaian pesan yang dilakukan oleh guru kepada siswanya dengan pengalaman mengajar, latar belakang pendidikan dan populasi siswa dalam satu kelas. Penelitian ini juga didesain untuk mengungkap pola pikir guru matematika SMP dan MTs ketika mereka mengkonstruksi pesan verbal kepada para siswanya. Istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan pola pikir guru matematika tersebut dinamakan suatu logika desain pesan. Harapannya, akan memberikan perspektif yang baru pada kesalahan pemahaman antara apa yang ditulis pada teori-teori komunikasi dan apa yang sebenarnya dilakukan guru di lapangan.
Subjek penelitian ini dipilih secara purposif sampling dari guru matematika SMP dan MTs yang ada di Kota Surabaya dan Kabupaten Sidoarjo. Dengan menggunakan metode purposif sampling  ini memungkinkan  digali  data yang sebanyak-banyaknya dengan cara yang efisien. Dengan cara ini didapatkan 8 guru yang mengajar di SMP Negeri 2 Sukodono Sidoarjo, SMP Budi Sejati Surabaya, MTs Negeri Krian Sidoarjo, dan MTs Jabal Nur Sepanjang Sidoarjo. Penelitian ini dilaksanakan pada semester gasal tahun 2011-2012.
Data dikumpulkan melalui berbagai cara: pengamatan berpartisipasi, wawancara, dokumentasi, dan bantuan alat-alat audio visual. Pengamatan berpartisipasi dilakukan dengan jalan melibatkan 4 (empat) orang mahasiswa Jurusan Pendidikan Matematika terjun langsung ke lapangan untuk mengamati dan mengumpulkan data  di kelas. Pengamatan mencakup semua fenomena yang teramati berupa deskripsi gaya masing-masing guru dalam menyampaikan pesan ke siswanya. Agar pengamatan terarah, digunakan lembar pengamatan yang telah disiapkan.
Kegiatan wawancara dilakukan secara bebas terkontrol. Artinya, wawancara dilakukan secara bebas sehingga diperoleh data yang luas dan mendalam. Dengan wawancara seperti ini, diharapkan dapat memberikan prinsip-prinsip komparabilitas dan reliabilitas secara langsung sehingga mengarah pada persoalan yang diteliti. Walaupun dalam wawancara  ini diperlukan pedoman wawancara, namun dalam pelaksanaannya wawancara dibuat bervariasi dan disesuaikan dengan situasi yang ada sehingga kelihatan luwes. Hal ini penting dilakukan karena untuk menjaga hubungan baik antara pewawancara dengan yang diwawancarai. Wawancara dalam penelitian ini ditekankan pada alasan-alasan dasar dan  tujuan guru memilih logika desain tertentu serta bagaimana guru mengevaluasi keberhasilan logika desain yang dipilih.
Dokumentasi digunakan untuk menggali data yang berkaitan dengan latar belakang pendidikan dan masa kerja guru. Kedua jenis data ini diperoleh dari bagian tata usaha masing-masing sekolah. Pengumpulan data dengan alat-alat elektronik (seperti mobile phone dan tape recorder) juga sangat dimungkinkan karena semua guru matematika SMP/MTs sudah memiliki fasilitas telepon seluler (mobile phone) yang dapat digunakan sebagai alat komunikasi dalam penentuan waktu wawancara. Dengan bantuan alat-alat elektronik tersebut, proses pengumpulan data penelitian dapat dilakukan dengan mudah. Tape recorder juga digunakan untuk merekam selama kegiatan wawancara.
Instrumen yang digunakan dalam penelitian di antaranya: lembar pengamatan, pedoman wawancara, dan lembar ceklist. Lembar pengamatan ini diadaptasi dari Grant (2009),yang berisi enam karakteristik yang membedakan ketiga logika desain pesan. Keenam karakteristik itu adalah: gaya berkomunikasi, cara mengorganisir pesan, konteks pesan, cara merespon, fokus pada penerima pesan, dan kriteria keberhasilan dalam menyampaikan pesan.  Pedoman wawancara dirancang sendiri oleh peneliti dengan memperhatikan aspek-aspek: penggunaan gaya tertentu oleh guru selama  interaksi dalam pembelajaran dan penelusuran latar belakang guru. Ceklist berisi sejumlah daftar pernyataan terkait dengan latar belakang pendidikan guru, masa kerja guru, dan jumlah anak dalam kelas. Ceklist ini juga dikembangkan sendiri oleh peneliti, digunakan untuk merangkum dokumen yang diberikan oleh masing-masing sekolah.
Analisis data dilakukan dengan berbagai cara berikut. Analisis data hasil wawancara, dilakukan dengan menggunakan model interaktif yang dimulai dari pengumpulan data, reduksi data, penyajian data dan pengambilan kesimpulan (verifikasi). Selanjutnya, masing-masing tahap dalam analisis data hasil wawancara  dijelaskan sebagai berikut. Pertama, pada pengumpulan data, data dari lapangan yang dikumpulkan melalui proses wawancara dan pengamatan berpartisipasi, selanjutnya disusun dalam suatu catatan lapangan sebagai langkah awal dalam analisis  data.
Kedua, reduksi data. Melalui proses reduksi data, laporan mentah yang diperoleh di lapangan disusun menjadi lebih sistematis, sehingga mudah dikendalikan. Data yang telah direduksi akan memberikan gambaran yang tajam tentang hasil penelitian, membantu dalam memberikan kode pada aspek-aspek tertentu yang menjadi fokus penelitian.
Ketiga, penyajian data. Data dalam penelitian ini disajikan dalam bentuk naratif. Dengan semakin banyaknya data yang diperoleh, agar tidak kesulitan dalam penyampaian  informasi baik secara keseluruhan atau bagian-bagian tertentu, maka dalam penyajiannya dibuat rangkuman, dan teks naratif untuk memudahkan penyajian informasi data tersebut. Hal ini dilakukan karena data yang terpencar-pencar dan kurang tersusun dengan baik dapat mempengaruhi peneliti dalam bertindak dan mengambil kesimpulan yang memihak, tersekat-sekat dan tidak mendasar.
Keempat, menarik kesimpulan. Kesimpulan diambil dari penyajian data yang telah dilakukan sehingga sejak awal penelitian diupayakan untuk mencari makna data yang telah dikumpulkan. Untuk itu,  dicari pola, tema, persamaan, perbandingan, dan hal-hal yang sering timbul. Kesimpulan penelitian tentang topik ini akan  lebih mengakar dan kokoh groundednya seiring dengan bertambahnya informasi dari hasil wawancara, pengamatan, studi dokumentasi selama penelitian berlangsung.
Untuk data yang diperoleh dari hasil observasi guru di kelas, selanjutnya dicek pada kolom manakah yang paling banyak terdapat tanda ceklist: apakah pada kolom ekspresif, konvensional ataukah retorika. Kolom yang paling banyak terdapat tanda ceklist berarti bahwa gaya itulah yang cenderung dilakukan oleh guru. Setelah diketahui gaya guru berdasarkan hasil diobservasi, kemudian dideskripsikan gaya komunikasinya.
Hasil Penelitian dan Pembahasan
Berikut dideskripsikan gaya komunikasi masing-masing guru dengan memperhatikan latar belakang pendidikan, pengalaman mengajar dan populasi siswa dalam satu kelas. Misalkan Pak AA menggunakan bahasa yang luwes, lembut, dan menarik siswa. Hal ini ditandai dengan selingan kata-kata yang memakai bahasa Jawa dan bahasa Inggris. Dalam proses pembelajaran, cara menyampaikan pesan yang digunakan juga sangat fleksibel dan benar-benar terpusat pada siswanya. Hal tersebut terlihat ketika AA mengambil pengertian suatu materi dari berbagai pendapat siswa. Hal ini sesuai dengan teori yang ada dalam logika retorika yaitu “Pesan-pesan yang disusun dalam logika ini cenderung lembut, luwes, berwawasan dan terpusat kepada komunikannya.” AA memberikan feed-back kepada siswanya sehingga terjadi komunikasi multiarah.
Dalam menyampaikan materi AA tidak terpaku pada buku dan hanya berkomunikasi sesuai kebutuhan siswanya sampai siswa benar-benar paham dan mengingatkan kepada materi yang lalu supaya siswa menemukan sendiri dan benar-benar paham. Ini sesuai dengan teori retorika yakni “Orang yang menggunakan logika ini berasumsi bahwa pesan yang disampaikan ditekankan untuk mencapai tujuannya bukan sekedar hanya terjadinya respon atau timbal balik saja.” Berdasarkan analisis di atas dan berdasarkan banyak tanda cek list dalam lembar observasi, gaya komunkasi yang dilakukan AA termasuk dalam kategori logika desain pesan retorika.
Dilihat dari pengalaman mengajar, Pak AA telah mengajar selama 34 tahun, yaitu mulai 1977. Setelah lulus SMA pak AA bekerja di perusahaan kikir Gedangan untuk membiayai kuliahnya. Selain bekerja di perusahaan, ia juga mempunyai profesi sebagai pembawa acara pernikahan dengan adat Jawa. Bakat sebagai pembawa acara itu muncul karena ia mempunyai rasa percaya diri tinggi dan sering mengikuti organisasi-organisasi dalam masyarakat. Pendidikan terakhir yang ditempuh oleh pak AA adalah S1 pendidikan matematika di UNITOMO. Adapun jumlah siswa yang di ajar oleh Pak AA ada 35 siswa yang terdiri dari siswa putra dan putri.
Sementara itu, bu SR menggunakan gaya komunikasi logika retorika karena SR melakukan negosiasi kepada siswanya yang ditunjukkan oleh cuplikan berikut. “Jika melanjutkan materi maka perhatikan dan ikuti pelajaran dengan tertib!.” Hal ini sesuai dengan teori retorika yang memandang komunikasi sebagai suatu cara untuk mengubah aturan melalui negosiasi. Cara yang dilakukan SR dalam menyampaikan materi dengan memperhatikan isi buku dan mengomunikasikan lebih sederhana sesuai dengan kebutuhan siswa. Hal ini sesuai dengan teori logika retorika bahwa pesan-pesan yang disusun dalam logika ini cenderung lembut, luwes, berwawasan, dan terpusat kepada komunikannya. Aksi SR berkeliling pada setiap   siswa untuk menjelaskan kepada mereka yang belum paham, ini sesuai dengan teori logika retorika. Hal ini sesuai dengan pandangan logika desain pesan ini yang menyatakan bahwa “Orang yang menggunakan logika ini berasumsi bahwa pesan yang disampaikan ditekankan untuk mencapai tujuannya bukan sekadar hanya terjadinya respon atau timbal balik saja.
Bu SR memiliki pengalaman mengajar selama 22 tahun yaitu mulai tahun 1989. Pendidikan terakhir yang ditempuh oleh bu SR adalah S1 pendidikan matematika di UNMUH Surabaya. Adapun jumlah siswa yang di ajar oleh bu SR berjumlah 36 siswa, yang terdiri dari siswa putra dan putri.  
Guru berinisial SD dalam memberikan pelajaran tidak hanya menekankan terjadinya timbal balik antar siswa-guru, namun ditekankan bagaimana siswa agar benar-benar memahami dengan materi itu. Ini terlihat ketika SD membolak-balik pertanyaan hingga siswa tidak bingung dan bisa menjawab dengan benar. Hal itu sesuai dengan teori logika retorika yang menyatakan bahwa ”Orang yang menggunakan logika ini berasumsi bahwa pesan yang disampaikan ditekankan untuk mencapai tujuannya bukan sekedar hanya terjadinya respon atau timbal balik saja.” Berdasarkan analisis di atas dan banyak tanda checklist pada hasil lembar observasi, maka gaya komunikasi bu SD  dapat dikategorikan ke dalam logika retorika.
Bu SD  memiliki pengalaman mengajar selama 18 tahun, yaitu mengajar sejak tahun 1993. Untuk membiayai kuliahnya, bu SD pernah bekerja di sebuah restauran dan juga menjadi guru privat. Setelah lulus kuliah, bu SD mendapatkan tawaran mengajar di sekolah tempat mengabdi sekarang, dan ia diangkat menjadi pegawai negeri di SMP Negeri 29 Surabaya sejak tahun 2007. Namun, atas permintaan  kepala SMP Budi Sejati Surabaya,  selain mengajar di SMP Negeri 29 Surabaya ia juga tetap mengajar di SMP Budi Sejati Surabaya. Pendidikan terakhir yang ditempuh oleh bu SD adalah S1 pendidikan matematika di UNITOMO.
Untuk guru berinisial SL, ketika berkomunikasi ia sering memberikan motivasi kepada siswanya dan  sering bercanda sehingga suasana kelas tidak menegangkan. Hal ini sesuai dengan tujuan dari logika konvensional, yakni untuk menciptakan komunikasi yang sopan dan pantas. Berdasarkan deskripsi di atas dan observasi di lapangan, maka SL dalam mengkomunikasikan materi tergolong dalam logika konvensional.
Pak SL memiliki pengalaman mengajar selama 25 tahun, yaitu mulai tahun 1986. Sebelum mengajar di SMP Budi Sejati Surabaya, pak SL sudah mengajar di MI Sepanjang, selama 19 tahun 8 bulan dan di SMP PGRI 44 Surabaya sejak tahun 2000 sampai 2005. Pendidikan terakhir yang ditempuh oleh pak SL adalah S1 pendidikan matematika di IKIP PGRI Surabaya. Sebelum memutuskan untuk menimbah ilmu di IKIP PGRI, pak SL kuliah di UNIBRAW mengambil jurusan teknik sipil, namun karena tidak ada biaya akhirnya pak SL memutuskan untuk berhenti kuliah. Kemudian pak SL memutuskan untuk kuliah lagi di IKIP Malang,mengambil jurusan fisika, namun karena terbentur masalah biaya lagi jadi pak SL memutuskan untuk berhenti kuliah. Adapun jumlah siswa yang di ajar oleh pak SL berjumlah 34 siswa, yang terdiri dari siswa putra dan putri.
Guru CC menyampaikan materi dengan spontan dan siswa hanya mendengarkan. Hal ini sesuai dengan teori logika ekspresif yang menyatakan bahwa  logika yang memandang komunikasi sebagai cara untuk berekspresi serta untuk menyatakan perasaan dan pikiran sendiri (Morrisan & Wardhany, 2009:119). Kemudian, ketika CC jarang menanggapi respon siswa, ini sesuai pernyataan yang ada dalam  logika ekspresif bahwa guru yang ekspresif tidak menghiraukan apa yang diinginkan siswa, guru hanya menjelaskan secara spontan mengenai konsep-konsep yang dimilikinya. Setelah itu, CC meminta siswa mengerjakan soal di papan tulis. Berdasarkan analisis di atas, gaya komunikasi CC yang digunakan  termasuk logika ekspresif.
Bu CC memiliki pengalaman mengajar selama 4 tahun, yaitu mulai tahun 2007. Pendidikan terakhir yang ditempuh adalah S1 pendidikan matematika di Universitas Wijaya Kusuma Surabaya. Peneliti tidak mewawancarai bu CC tentang pengalamannya lebih mendalam dikarenakan terbatasnya waktu pelajaran dengan jam pulang sekolah dan kegiatan siraman rohani untuk guru pada bulan Ramadhan. Adapun jumlah siswa yang di ajar oleh bu CC berjumlah 36 siswa.
Gaya komunikasi yang dilakukan AH tergolong logika retorika. Hal ini   ditunjukkan pada saat membuat aturan yang berupa pemindahan tempat duduk yang bertujuan untuk memberikan perhatian lebih terhadap siswa-siswa yang kurang memahami materi, dan cara menarik kesimpulan diambil dari semua jawaban siswa-siswa yang ditanyai. Hal ini sesuai dengan logika retorika yang menyatakan logika retorika memandang bahwa komunikasi sebagai suatu cara untuk mengubah aturan melalui negoisasi (Forrest, 2008:34).
Selain itu dapat ditunjukkan pula pada saat AH melontarkan pertanyaan secara mendadak ketika ada siswa yang tidak konsentrasi. AH berusaha menarik perhatian siswa dengan cara tiba-tiba berbicara lantang dan lucu sambil memukul meja. Kondisi  ini sejalan dengan logika retorika yang menyatakan bahwa pesan-pesan yang disusun dalam logika ini cenderung lembut, luwes, berwawasan dan terpusat kepada komunikannya. AH sangat memperhatikan siswanya karena AH memberikan contoh soal yang bervariasi agar siswa benar-benar memahami materi dalam bentuk soal apapun. Dari paparan di atas dan berdasarkan tanda checklist pada lembar observasi, gaya komunikasi yang di lakukan AH maka  AH termasuk dalam kriteria logika desain pesan retorika.
Pak AH memiliki pengalaman mengajar selama 6 tahun, yaitu mulai tahun 2005. Pak AH  mengajar di SMP Bhayangkari sejak ia berada pada semester 4 kuliah di Universitas Negeri Surabaya (UNESA). Pada tahun 2005 ia diangkat menjadi pegawai negeri di MTsNegeri Krian. Pendidikan terakhir yang ditempuh oleh pak AH adalah S1 pendidikan matematika di UNESA. Adapun jumlah siswa yang di ajar oleh pak AH berjumlah 37 siswa.
Guru berinisial LK mengawali pelajaran dengan menjelaskan materi, dan menerangkan secara langsung. Hal ini sesuai dengan teori logika ekspresif yang menyatakan bahwa  logika ini  memandang komunikasi sebagai cara untuk berekspresi serta untuk menyatakan perasaan dan pikiran sendiri.  Cara penyampaian materi dengan mengambil kesimpulan dari siswa. Kemudian, ketika LK meminta siswanya untuk merangkum materi, sehingga siswa mencari sendiri pengetahuannya. Hal ini menunjukkan bahwa LK sangat terpusat pada siswa. Berdasarkan análisis ini dan banyak tanda checklist pada hasil lembar observasi, dapat diketahui bahwa LK cenderung dikategorikan logika retorika.
Bu LK memiliki pengalaman mengajar selama 12 tahun, yaitu mulai tahun 1999. Bu LK sudah mengajar di sekolah yang sekarang mulai beliau duduk disemester 5 dan sampai sekarang, jadi kalau dihitung masa kerja beliau sudah 12 tahun. Pendidikan terakhir yang ditempuh oleh bu LK adalah S1 pendidikan matematika di IKIP Surabaya. Adapun populasi siswa yang diajar oleh bu LK berjumlah 30 siswa.
Selanjutnya, komunikasi yang terjalin antara RD dan siswa sangat minimal sekali. Hal ini sesuai dengan teori logika ekspresif yang menyatakan yaitu logika yang memandang komunikasi sebagai cara untuk berekspresi serta untuk menyatakan perasaan dan pikiran. Logika ekspresif ini bersifat terbuka dan reaktif dengan hanya memberikan perhatian yang sedikit pada orang lain, sehingga hanya terjadi interaksi satu arah. Berdasarkan analisis dan banyak tanda checklist pada lembar observasi, gaya komunikasi RD untuk memudahkan siswa menerima materi tergolong logika ekspresif.
Bu RD memiliki pengalaman mengajar selama 12 tahun, yaitu mulai tahun 1999. Bu RD mengajar di Madrasah Kauman selama 9 tahun, kemudian mengajar di MTs  Jabal Noer sejak 3 tahun yang lalu. Pendidikan terakhir yang ditempuh oleh bu RD adalah S1 pendidikan matematika di IKIP PGRI Surabaya. Adapun jumlah siswa yang di ajar oleh bu RD berjumlah 32 siswa.
Deskripsi data di atas, bila dirangkum dapat diklasifikasikan ke dalam tiga kelompok. Hasil rangkuman itu disajikan secara berturut-turut pada Tabel 1 sampai dengan Tabel 3. Tabel 1 memuat rangkuman keterkaitan antara pengalaman kerja guru dan pemilihan logika desain pesan, Tabel 2 memuat rangkuman tentang keterkaitan latar belakang pendidikan guru dengan pemilihan logika desain pesan, dan Tabel 3 hubungan antara populasi siswa dalam satu kelas dengan pemilihan logika desain pesan.
Tabel 1
Hubungan antara Pengalaman Kerja Guru dengan Pemilihan Logika desain pesan 

No.
Kriteria Masa Kerja
Logika Desain Pesan
Ekspresif
Konvensional
Retorikal
1.
Kurang dari 6 tahun
1 guru


2.
Antara 6 sampai 20 tahun
1 guru
1 guru
2 guru
3.
Antara 20 sampai 28 tahun

2 guru

4.
Lebih dari 28 tahun


1 guru
           
Berdasarkan Tabel 1 guru yang memiliki pengalaman kerja tinggi tidak menjamin dapat menciptakan komunikasi yang baik dibandingkan dengan guru yang memiliki pengalaman kerja yang relatif rendah. Sebagai bukti, pak AH mampu menciptakan gaya komunikasi yang baik yaitu gaya komunikasi retorikal walaupun masa kerjanya hanya berkisar 6 tahun. Oleh karena itu, pengalaman mengajar lebih tepat apabila dikatakan sebagai masa kerja karena yang diperhatikan aspek lama mengajar. Belum memperhatikan kualitas kerja yang melibatkan banyaknya pelatihan, diklat ataupun kegiatan lainnya  yang diikuti oleh guru bersangkutan. Padahal, bila ditelaah lebih jauh aspek yang terakhir itulah yang penting diperhatikan sebagai variabel dalam penelitian ini dan semestinya perlu mendapat penekanan.
  Tabel 2
Hubungan antara Pendidikan Guru dengan Pemilihan Logika Desain Pesan 
No.
Kriteria Pendidikan
Logika Desain Pesan
Ekspresif
Konvensional
Retorikal
1.
D3



2.
S1
2 guru
3 guru
3 guru
3.
S2



4.
S3




Dari Tabel 2, guru yang pendidikannya S1 seharusnya mampu menciptakan gaya komunikasi lebih baik yaitu gaya komunikasi retorikal. Namun kenyataanya masih banyak guru yang pendidikannya S1 tetapi masih menggunakan gaya komunikasi konvensional dan gaya komunikasi ekspresif.
Hal yang menjadi pemicu kondisi di atas adalah latar belakang pendidikan guru berasal dari S-1 PTS. Pada umumnya, mendapat gelar S-1 merupakan satu-satunya orientasi dalam studi, tanpa memperhatikan kualitas peningkatan kompetensi diri baik secara pedagogik maupun profesional. Artinya, peningkatan status gelar kesarjanaan para guru tidak mesti seirama dengan peningkatan kualitas diri, sehingga berdampak pada cara komunikasi guru di kelas.
Hal di atas bertentangan dengan teori yang menyatakan bahwa guru yang tingkat pendidikannya lebih tinggi akan memiliki gaya komunikasi yang lebih berkualitas dibandingkan dengan guru yang tingkat pendidikannya lebih rendah (Suparlan, 2008:149). Sedangkan pada kenyataanya pendidikan guru tidak mampu mempengaruhi gaya komunikasi yang digunakan oleh seorang guru. Hal tersebut sesuai dengan teori perubahan yang dikemukakan oleh Persons (http://teori perubahansosial.html).
Persons menganalogikan perubahan sosial pada masyarakat seperti halnya pertumbuhan pada makhluk hidup. Persons berasumsi bahwa setiap masyarakat tersusun dari sekumpulan subsistem yang berbeda berdasarkan strukturnya maupun berdasarkan makna fungsionalnya bagi masyarakat yang lebih luas. Ketika masyarakat berubah, umumnya masyarakat tersebut akan tumbuh dengan kemampuan yang lebih baik untuk menanggulangi permasalahan hidupnya.
Tabel 3 
Hubungan antara Populasi Siswa dengan Pemilihan Logika Desain Pesan 

No.
Kriteria Populasi Siswa
Logika Desain Pesan
Ekspresif
Konvensional
Retorikal
1.
Kurang dari 25 siswa
-
-
-
2.
Antara 25 sampai 40 siswa
2 guru
3 guru
2 guru
3.
Lebih dari 40 siswa
-
-
1 guru
           
Dari Tabel 3, guru yang mengajar dengan populasi siswa lebih sedikit tidak menjamin dapat menciptakan gaya komunikasi yang lebih baik dibandingkan dengan guru yang mengajar dengan populasi siswa lebih banyak. Seperti yang sudah dipaparkan pada tabel itu, dari ketujuh guru mengajar dengan populasi siswa antara 25 sampai 40 siswa, akan tetapi gaya komunikasi yang digunakan sangat bervariasi, yaitu  2 guru menggunakan logika desain pesan ekspresif, 3 guru menggunakan logika desain pesan konvensional, dan ada 2 guru menggunakan logika desain pesan retorikal. Dengan demikian, tidak terdapat hubungan antara populasi siswa di dalam kelas dengan pemilihan logika desain pesan dalam gaya komunikasi guru matematka SMP/MTS.

Kesimpulan
Berdasarkan paparan data dan pembahasan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat keterkaitan antara pengalaman kerja guru, pendidikan guru, dan populasi siswa di dalam kelas dengan pemilihan logika desain pesan dalam gaya komunikasi guru matematika SMP/MTS. Temuan lain, guru lebih banyak menggunakan logika desain pesan retorikal, karena gaya komunikasi ini lebih mudah diterima dan dipahami anak ketika menyerap materi matematika.
Mengacu pada kesimpulan di atas, muncul saran sebagai berikut. Pertama, hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara pengalaman guru dengan pemilihan logika desain pesan yang ada. Hal ini disebabkan karena pengalaman yang diteliti pada penelitian ini lebih berfokus pada masa kerja (lama mengajar). Untuk penelitian yang akan datang, fokus penelitian seharusnya lebih diarahkan kepada pengalaman guru dalam hal banyaknya mengikuti kegiatan-kegiatan pelatihan, workshop atau penataran yang dapat meningkatkan kapasitas dan kompetensi guru. Hal terakhir inilah yang dapat mengubah paradigma dan kemampuan guru. Kedua, penelitian ini hanya dilakukan sebanyak sekali pengamatan terhadap masing-masing guru. Kondisi ini belum dapat menangkap kemampuan komunikasi guru yang sebenarnya. Apalagi kondisi penelitian dilakukan pada bulan Ramadhan, juga sangat mempengaruhi performansi guru di kelas. Oleh karena itu, sebaiknya penelitian berikutnya dilakukan lebih dari 1 kali pertemuan dan tidak dilakukan pada bulan Ramadhan, agar diperoleh potret utuh kemampuan dan permormansi guru  secara maksimal.  Ketiga, hasil penelitian juga menunjukkan  tidak terdapat keterkaitan antara latar belakang pendidikan guru dengan pemilihan logika desain pesan. Hal ini lebih disebabkan, guru yang terpilih sebagai subjek penelitian dominan yang memiliki ijasah S-1. Bagi peneliti  yang tertarik dengan masalah ini, agar guru yang dijadikan subjek  penelitian lebih variatif latar belakang pendidikanya, mulai D-2, S-1 dan S-2. Dengan adanya variasi ini, dimungkinkan dapat diperoleh data yang lebih kompleks dan akurat untuk memotret kemampuan komunikasi guru. 

Ucapan terima kasih perlu penulis sampaikan kepada semua pihak yang berkonstribusi dan memberikan sumbangan dalam penelitian  ini. Secara khusus, Lembaga Penelitian IAIN Sunan Ampel Surabaya yang telah sudi membiayai penelitian melalui DIPA tahun  anggaran 2011. Apresiasi yang tinggi patut diberikan kepada  Saudari  Amrina Rahmatin, Amalia Rizqina, Mas Maul Khoiriyah, dan Defi Fefdianti (mahasiswi Jurusan Pendidikan Matematika Fakultas Tarbiyah) yang terlibat secara inten dan sangat membantu penelitian ini mulai dari penyusunan instrumen, mencari sekolah, pengumpulan data di lapangan, hingga analisis data. Di tengah menjalankan ibadah puasa Ramadhan, mereka dengan ikhlas melakukan itu semua.
Daftar Pustaka
Daradjat, Z. 2005. Kepribadian Guru. Jakarta: Bulan Bintang.
Forrest, D. B. 2008. Communication Theory Offers Insight into Mathematics Teachers’ Talk. The Mathematics Educator, 18 (2), 23-32.
Forrest, D.B. 2005. Investigating the Logics Secondary Mathematics Teachers Employ when Creating Verbal Message for Students: An Instance for Bridging Communication Theory into Mathematics Education. USA: OHIO State University.
Grant, M. R.  2009. Examining Classroom Interactions and Mathematical Discourses. Disertasi tidak dipublikasikan. USA: The Ohio State University.
Hamalik, O. 2008. Proses Belajar Mengajar, Jakarta: Bumi Aksara.
Http://teori perubahansosial.html, diunduh 17 September 2011.
Illyas, M. 2009.  Pengaruh Komunikasi Orang Tua terhadap Prestasi Belajar Siswa pada MTsN Model Makasar. Makasar: Program Pascasarjana Universitas Hasanudin.
Jurusan Ilmu Komunikasi. 2009.  Proses Komunikasi, dari http://jurusankomunikasi. blogspot.com/2009/05/proses-komunikasi.html diunduh 27 Mei 2011
Kincaid, L. 1977. Asas-asas Komunikasi antar Manusia. Jakarta: LP3ES.
Morrisan & Wardhany, C. 2009. Teori Komunikasi. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Muhammad, A. 2007. Komunikasi Organisasi, Jakarta: Bumi Aksara.
Mulyana, D. 2005. Komuniukasi Efektif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Naim, Ngaimun. 2011. Dasar-dasar Komunikasi Pendidikan, Jogjakarta: Ar-ruzz Media.
Littlejohn, S.W. & Foss, K.A. 2009. Teori Komunikasi (Diterjemahkan dari buku aslinya Theories of Human Communication). Jakarta: Penerbit Salemba Humanika.
Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D.  Bandung: Penerbit Alfa Beta.
Suparlan. 2008. Menjadi Guru Efektif. Yogyakarta: Hikayat.

Title Post: Implementasi Teori Komunikasi dalam Praktik Pembelajaran Matematika
Rating: 100% based on 99998 ratings. 5 user reviews.
Author: Unknown

Terimakasih sudah berkunjung di blog-kusaeri, Jika ada kritik dan saran silahkan tinggalkan komentar

0 komentar:

Posting Komentar