Selasa, 20 November 2012

TES DIAGNOSTIK


Kata “diagnosis” berasal dari bahasa Yunani, dari kata “diagignÓskein.” Secara harfiah, kata itu menurut Rupp et al. (2010) memiliki makna: untuk mengetahui secara tepat (to know precisely), untuk memutuskan (to decide), dan untuk sependapat (to agree upon). Yang & Embretson (2007) mengartikan diagnosis ke dalam tiga aspek: deskripsi tentang karakteristik sesuatu atau fenomena, mengidentifikasi sifat dari sesuatu atau penyebab dari fenomena, dan keputusan atau kesimpulan yang dibuat melalui deskripsi atau analisis.
Berdasarkan dua pengertian itu, diagnosis berarti suatu tindakan menganalisis suatu permasalahan, mengidentifikasi penyebabnya secara tepat untuk tujuan pengambilan keputusan, dan hasil keputusan tersebut dilaporkan dalam bentuk deskriptif.
Diagnosis juga dipengaruhi oleh pemikiran seorang evaluator sekaligus filosof bernama Schriven (Gierl et al., 2007). Ada tiga aspek yang dapat dicatat dari pendapat Scriven. Pertama, diagnosis mencakup proses menentukan sifat kemampuan (performance) seorang anak dan melaporkan dari proses itu. Tes diagnostik digambarkan sebagai suatu proses di mana hasil tes memberikan informasi tentang kemampuan kognitif peserta tes dan hasil evaluasi tersebut dilaporkan. Pendekatan ini dalam konteks pengujian menekankan interaksi antara proses mental dan strategi yang digunakan peserta tes dalam menjawab item. Kesimpulan skor tes dalam tes diagnostik harus mudah dipahami dan bermanfaat dalam mengevaluasi kemampuan peserta tes, karena item dirancang untuk mengukur kemampuan, proses dan strategi yang digunakan peserta tes.
Kedua, proses diagnosis harus memungkinkan untuk mengklasifikasikan kemampuan kognitif peserta tes dengan menggunakan sistem pelaporan yang mudah diterima. Untuk itu, hasil tes diagnostik harus mampu mendeskripsikan pola pikir peserta tes dengan menggunakan bahasa yang mudah dipahami. Selain itu, hasil tes diagnostik juga harus memberikan informasi tentang kendala-kendala yang dialami peserta tes dalam menyelesaikan item yang dapat dilaporkan kepada siswa, guru, orang tua, dan seluruh komponen stakeholder.
Ketiga, diagnosis merupakan bagian dari suatu proses pembelajaran yang lebih besar, dengan tujuan utama mengidentifikasi permasalahan pembelajaran dan membantu mengatasi permasalahan pembelajaran. Tes diagnostik yang efektif harus terintegrasi dengan baik dalam lingkungan pembelajaran, dan dikembangkan untuk membantu guru memahami bagaimana siswa berpikir dan menyelesaikan masalah. Dengan demikian, skor yang didapatkan dari tes diagnostik harus dipandang sebagai sumber informasi yang dapat dipadu dengan sumber informasi lain tentang peserta tes (seperti tugas-tugas rumah, tes sehari-hari atau yang lainnya) untuk membuat keputusan pembelajaran.
Depdiknas (2007) memaknai tes diagnostik sebagai tes yang dapat digunakan untuk mengetahui kelemahan dan kekuatan siswa. Dengan demikian, hasil tes dapat digunakan sebagai dasar memberikan tindak lanjut berupa perlakuan yang tepat dan sesuai dengan kelemahan yang dimiliki siswa. Mengacu dua pengertian terakhir, maka tes diagnostik memiliki dua fungsi utama, yaitu: mengidentifikasi masalah atau kesalahan yang dialami siswa dan  merencanakan tindak lanjut berupa upaya-upaya pemecahan sesuai masalah atau kesalahan yang telah teridentifikasi.
Tes diagnostik memiliki beberapa karakteristik: (a) dirancang untuk mendeteksi kelemahan belajar siswa, karena itu format dan respons yang dijaring harus didesain memiliki fungsi diagnostik; (b) dikembangkan berdasarkan analisis terhadap sumber-sumber kesalahan yang mungkin menjadi penyebab munculnya masalah siswa; (c) menggunakan soal-soal bentuk constructed response (bentuk uraian atau jawaban singkat), sehingga mampu menangkap informasi secara lengkap. Dalam kondisi tertentu dapat mengunakan bentuk selected response (misalnya bentuk pilihan ganda), namun harus disertakan penjelasan mengapa peserta tes memilih jawaban tertentu.  Dengan demikian, dapat meminimalisir jawaban terkaan dan dapat ditentukan tipe kesalahan atau masalahnya; dan (d) disertai rancangan tindak lanjut yang  sesuai dengan kesulitan yang teridentifikasi (Depdiknas, 2007).
Corter (1995) menambahkan bahwa tes diagnostik memiliki karakteristik berbeda dengan tes prestasi belajar. Tes diagnostik dirancang untuk menilai penguasaan dan kemampuan siswa secara spesifik. Sementara itu, sub-sub kemampuan yang harus dikuasai siswa bersifat diskret, yakni menguasai seluruhnya atau tidak menguasai sama sekali. Namun, tes  diagnostik dapat juga digunakan untuk menilai prestasi siswa. 
Hasil tes diagnostik dapat digunakan untuk melakukan intervensi yang efektif kepada siswa secara individual atau kelas, dalam upaya mengevaluasi proses pembelajaran. Tes diagnostik tidak hanya memberikan informasi berupa angka sebagai indikator kemampuan siswa, namun juga mendeskripsikan penguasaan siswa pada sub kemampuan tertentu.
Berbagai pendapat di atas, menandakan bahwa tes diagnostik memiliki beberapa karakteristik berikut. Pertama, tes diagnostik tidak hanya memberikan informasi berupa angka sebagai indikator kemampuan siswa, namun juga mendeskripsikan penguasaan siswa pada sub kemampuan tertentu.  Dengan demikian, tes diagnostik juga harus mampu membedakan antara kemampuan yang telah dikuasai oleh seorang siswa dan kemampuan yang masih harus dipelajari. Kedua, tes diagnostik harus mampu memberikan informasi spesifik berdasarkan jawaban yang didapatkan dari siswa, sehingga dapat diidentifikasi kelemahan atau ketidakkonsistenan pola pikirnya. Dengan demikian, dapat memberikan potret yang utuh tentang kemampuan siswa. Artinya, informasi harus didapatkan berdasarkan jawaban yang diberikan siswa. Informasi tersebut, dalam tes diagnostik disajikan dalam bentuk umpan balik (feedback).
Referensi:
Depdiknas (2007). Tes diagnostik. Jakarta: Direktorat Pembinaan SMP pada Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah.
Corter, J.E. (1995). Using clustering methods to explore the structure of diagnostic test. Dalam P.D Nichols, S. F. Chipman & R. L. Brennan (Eds), Cognitive Diagnostic Assessment (pp. 305-326). New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates.
Gierl, M.J. (2007). Making diagnostic inferences about cognitive attributes using the Rule-Space Model and Attribute Hierarchy Methods. Journal of Educational Measurement, 44, 325-340.
Rupp, A.A., Templin, J. & Henson, R.A. (2010). Diagnostic measurement: Theory, methods and applications. New York: The Guilford Press. 
Yang, X. & Embretson, S.E. (2007). Construct validity and cognitive diagnostic assessment. Dalam J.P.Leighton & M.J. Gierl (Eds). Cognitive Diagnostic Assessment for Education: Theory and Applications, (pp. 119-145). New York: Cambridge University Press.

Title Post: TES DIAGNOSTIK
Rating: 100% based on 99998 ratings. 5 user reviews.
Author: Unknown

Terimakasih sudah berkunjung di blog-kusaeri, Jika ada kritik dan saran silahkan tinggalkan komentar

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Seperti apa sih soal-soal pada tes diagnostik ? Bisa ga tes diagnostik diambil dari ulangan harian ? Kan dari ulangan harian kita dapat melihat kelemahan belajar siswa !

Posting Komentar