Selasa, 20 November 2012

Mengkritisi Payung Hukum UN (Ujian Nasional)


Bulan April ini, Ujian Nasional (UN) kembali digelar. Setiap kali  dilangsungkannya hajatan ini, polemik yang muncul selalu menyedot perhatian publik dan media. Terakhir, publik disuguhi isu bocornya UN seperti dilansir majalah HAI (Metro TV, 3/4/2011). Isu tersebut tentu harus disikapi secara hati-hati, terutama oleh siswa, guru dan orang tua. Siapa tahu ada orang yang ingin mengais keuntungan pribadi di tengah kegelisahan dan kegamangan anak menghadapi UN.
Polemik Lain yang Berkembang
Di tengah berbagai isu miring yang menerpa UN, di kalangan praktisi pendidikan  sendiri  hingga kini masih  terbelah  dalam menyikapi perlu tidaknya UN. Perdebatan ini muncul karena di satu pihak (yang menolak UN) menggunakan pasal 58 ayat (1) Undang-undang Sisdiknas, yakni ”Evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan.” Sementara di pihak lain (yang setuju UN) menggunakan pasal 58 ayat (2):  ”Evaluasi peserta didik, satuan pendidikan, dan program pendidikan dilakukan oleh lembaga mandiri secara berkala, menyeluruh, transparan, dan sistemik untuk menilai pencapaian standar nasional pendidikan. Terkait dengan hal ini,  penyelenggara UN  adalah Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP).
Pemahaman yang dapat mempertemukan kedua sudut pandang tersebut adalah  kesamaan persepsi tentang fungsi dan tujuan penilaian atau evaluasi  hasil belajar. Penilaian hasil belajar yang dilakukan oleh guru  atau pihak sekolah lebih berfungsi sebagai evaluasi formatif dan sumatif yang ditujukan untuk memperoleh informasi ketercapaian hasil belajar dalam rangka perbaikan pembelajaran. Di pihak lain, UN  memiliki fungsi sertifikasi dan seleksi pada jenjang berikutnya, di samping tujuan pemantauan dan pemetaan mutu pendidikan (Reynolds et al., 2010). Meskipun rasionalisasi ini belum sepenuhnya dapat diterima, yang jelas pemahaman fungsi dan  bentuk penilaian oleh kedua pihak di atas harus saling bersinergi.
  Lepas dari semua polemik yang terus bergulir, ada baiknya kita melihat jauh ke depan. Masih banyak  PR  yang harus dibenahi, mulai payung hukum, lembaga penyelengara, mencegah bocornya soal, pelaksanaan, maupun pengawasannya, agar  penyelenggaraan UN di masa mendatang lebih baik, profesional, dan akuntabel. Tulisan ini akan mencoba  mengkritisi sisi lain yang jarang mendapat perhatian, namun bersifat fundamental yakni Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas dan peraturan pemerintah (PP) No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP). Pasalnya,  kedua ketentuan di atas, selama ini dijadikan sebagai payung hukum pelaksaan UN.
Beberapa Pasal Krusial   
            Dalam Undang-undang Sisdiknas, setidaknya ada tiga pasal yang perlu dikoreksi. Pertama, pasal 1 ayat (21) tertulis: “Evaluasi pendidikan adalah kegiatan pengendalian, penjaminan, dan penetapan mutu pendidikan terhadap berbagai komponen pendidikan pada setiap jalur, jenjang, dan jenis pendidikan sebagai bentuk pertanggungjawaban penyelenggaraan pendidikan.” Pengertian ini mengandung kerancuan dan tidak sesuai dengan definisi dalam berbagai literatur. Bila mengacu pendapat pakar evaluasi  Grounlund & Linn (1990), hakikat evaluasi pendidikan merupakan upaya sistematis dalam rangka mengumpulkan, menganalisis, dan menginterpretasikan informasi guna menentukan tingkat keberhasilan siswa dalam suatu program pembelajaran. 
            Kedua,  pasal 35 ayat 1 memuat delapan standar yang harus dipenuhi secara   berkala oleh satuan pendidikan, yaitu standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan. Ketentuan ini dapat menjadi sumber penghambat bagi upaya peningkatan dan pemerataan pendidikan di berbagai daerah dan satuan pendidikan. Pasalnya, kondisi, potensi daerah dan satuan pendidikan sangat beragam. Menurut hemat penulis, untuk memacu mutu pendidikan, cukup ditetapkan standar kompetensi lulusan. Dengan adanya standar kompetensi lulusan, daerah dan satuan pendidikan akan terangsang untuk memaksimalkan potensinya masing-masing guna mencapai lulusan yang bermutu.
            Ketiga, pada pasal 58 ayat (2) seperti dikutip  sebelumnya, tampak jelas  pasal ini memerintahkan adanya lembaga ujian eksternal yang mandiri guna mengevaluasi peserta didik. Namun, hingga kini lembaga yang dimakud belum kunjung dibentuk. Adalah ganjil bila selama ini UN diserahkan sepenuhnya kepada BSNP.  Sangat tidak fair dan  kontradiktif, bila badan ini yang bertindak sebagai regulator, pada akhirnya berfungsi pula sebagai eksekutor dan evaluator UN.
            Ketentuan di atas, diperparah dengan munculnya ‘turunan’ aturan di bawahnya, berupa PP No. 19 Tahun 2005. Pasal 67 ayat (2) dinyatakan: “Dalam penyelenggaraan ujian nasional, BSNP bekerja sama dengan instansi terkait di lingkungan pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, dan satuan pendidikan.” Ketentuan ini mengandung makna yang bertentangan dengan prinsip penyelenggaraan UN secara profesional dan mandiri. Bila BSNP bekerja sama dengan berbagai lembaga pemerintah lainnya dalam penyelenggaraan UN, maka akan membuka peluang intervensi dan penyimpangan. Pasalnya, semua lembaga ini memiliki kepentingan agar hasil UN sebaik mungkin, sehingga memungkinkan terjadinya ‘conflict of interest.’ Untuk menghindarinya, perlu dibentuk lembaga pengujian yang independen, dan  memiliki  struktur sampai di daerah tempat penyelenggaraan ujian. Lembaga ini juga harus memiliki sumber daya manusia yang memadahi dalam bidang administrasi ujian dan profesi pengukuran, penilaian, dan evaluasi yang mengakar sampai ke daerah.    
Sebagai benchmarking, beberapa negara  telah memiliki lembaga pengujian seperti disebutkan di atas. Misalnya,  Malaysia, UN dikendalikan oleh Lembaga Peperiksaan. Lembaga ini sepenuhnya bertanggung jawab kepada Kementerian Pelajaran Malaysia. Singapura memiliki Singapore Examination and Assessment Board (SEAB), anggotanya diangkat oleh Menteri Pendidikan  melalui persetujuan parlemen Singapura. Di Belanda  dibentuk CEVO (De Centrale Examencommissie Vastteling Opgaven) di bawah Kementerian Pendidikan, Kebudayaan dan Ilmu Pengetahuan Belanda. Di Amerika Serikat, ujian nasional diserahkan sepenuhnya kepada lembaga independen bernama ETS (Educational Testing Service).
Terakhir, semoga tawaran pemikiran ini dapat menjadi inspirasi bagi pengambil kebijakan. Dengan demikian, sistem ujian di masa mendatang lebih baik, bersih, kredibel, dan akuntabel. Namun,  adakah political will pemerintah untuk itu???

Title Post: Mengkritisi Payung Hukum UN (Ujian Nasional)
Rating: 100% based on 99998 ratings. 5 user reviews.
Author: Unknown

Terimakasih sudah berkunjung di blog-kusaeri, Jika ada kritik dan saran silahkan tinggalkan komentar

0 komentar:

Posting Komentar