Selasa, 20 November 2012

Mahasiswa dan Aksi Tolak Kenaikan BBM


Aksi demonstrasi yang dilakukan mahasiswa terhadap rencana kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) terjadi di sejumlah tempat. Bermodalkan kesadaran kritis, mahasiswa hadir untuk menyuarakan keprihatinan dan keberpihakan pada penderitaan rakyat. Namun, gejala kekerasan mulai tampak. Pancing-memancing terjadinya kekerasan merupakan gejala yang patut mendapat perhatian.
Di Jakarta, enam mahasiswa harus berurusan dengan aparat karena menurunkan simbol negara, foto presiden. Di Semarang, mahasiswa bersitegang dengan aparat karena melakukan sabotase pada truk-truk tangki pengangkut BBM. Di Yogyakarta, ratusan mahasiswa melakukan aksi blokade jalan utama Adi Sucipto selama berjam-jam. Sementara itu, di sejumlah kota lainnya, aksi bakar ban bekas dilakukan di jalan protokol juga marak dilakukan. Kedua aksi terakhir menyebabkan jalanan macet. Aksi juga diwarnai bentrokan dengan aparat. Melihat serpihan peristiwa itu, kita seperti dipaksa untuk kembali mendiskusikan posisi dan peran aksi mahasiswa dalam dinamika sosial politik negeri ini.
Adalah lumrah kalau aksi demonstrasi itu digelar di pusat keramaian atau melakukan tindakan yang sensasional. Tujuannya menarik perhatian banyak orang. Juga menarik perhatian dan liputan media. Namun, yang tidak wajar adalah bila aksi demonstrasi itu mengganggu aktivitas masyarakat banyak. Inti dari suatu aksi demonstrasi digelar tidak sekedar perhatian yang diraih, tetapi juga tuntutan itu mendapat dukungan luas dari masyarakat banyak, bahkan juga pemerintah. Pada akhirnya tuntutan mereka pun diperhatikan, bahkan  dipenuhi.
Tarik Simpati atau Antipati
Aksi demonstrasi sebagai wujud penyampaian aspirasi adalah hal wajar di negara demokrasi. Kebebasan menyampaikan pendapat adalah hak asasi manusia. Namun, dalam proses penyampaian aspirasi hendaknya tetap mempertimbangkan kepentingan publik lain. Aksi pemblokiran jalan, kekerasan dan perusakan sarana publik juga harus dihindari. Mahasiswa harus mampu mensterilkan perjuangannya dari oportunisme politik dan radi-kalisme yang berujung pada anarki. Tanpa bermaksud meremehkan setiap aksi demonstrasi yang ada, apakah simpati dan dukungan dari masyarakat luas akan berdatangan jika aksi tersebut dilakukan dengan menguasai atau merusak prasarana publik?
Seharusnya mahasiswa tidak menodai perjuangan mereka hanya dengan emosi yang tak terkendali dan tindakan anarkis tanpa hasil. Cobalah lebih melihat dampaknya, karena perjuangan tidak akan berhasil hanya karena otot, tetapi yang paling penting adalah hasil pemikiran mahasiswa yang membuat  negeri ini bisa keluar dari kesulitan ekonomi.
Pada akhirnya aksi anarkhis semacam itu akan membuat masyarakat antipati. Jangan sampai muncul pemikiran, sebenarnya mahasiswa membela rakyat atau malah menyeng-sarakan rakyat? Di dalam bukunya, Protestbewegung und Hochschulreform (1969) seorang filosof dan sosiolog Jerman, Jurgen Habermas secara pedas mengkritik aksi-aksi anarkisme yang dilakukan oleh mahasiswa. Bagi Habermas, aksi-aksi yang dilakukan oleh para mahasiswa  semacam itu akan kontraproduktif.
Semenjak pemerintah berencana menaikan BBM, harga bahan pokok telah merangkak naik. Naiknya bahan pokok ini pasti menambah beban hidup masyarakat. Di tengah beban kehidupan yang semakin berat dan sulit, aksi demonstrasi dengan menguasai dan merusak prasarana publik,  hanya akan mengundang antipati masyarakat yang terkena dampak akibat aksi demonstrasi itu. Kondisi antipati ini pada akhirnya akan berdampak negatif kepada  pelaku aksi tersebut. Bukan dukungan yang diperoleh, namun kejengkelan, kemarahan, dan umpatan yang dilontarkan kepada para pelaku aksi demonstrasi itu.
Satu dekade lalu, aksi demonstrasi para pekerja yang didukung mahasiswa, acap kali terlihat di Seoul dan kota-kota besar lainnya di Korea Selatan. Aksi demonstrasi serupa acap terlihat di Filipina. Namun, belakangan ini, aksi itu banyak berkurang karena lebih banyak dampak negatif dibandingkan tujuan yang hendak dicapai. Lebih merugikan secara sosial dan ekonomi dibandingkan manfaat yang diperoleh. Bukan simpati yang didapat, melainkan antipati.
Dalam catatan penulis, aksi mahasiswa pernah mendapatkan simpati dan dukungan besar dari masyarakat ketika pecah peristiwa reformasi pada 1998. Inilah masa bulan madu antara mahasiswa dan masyarakat. Di Yogyakarta, ibu-ibu dengan sukarela menyediakan nasi bungkus dan minuman bagi para peserta aksi demonstrasi baik di Bunderan UGM maupun di tempat-tempat lain. Ini menunjukkan bersatunya mahasiswa dan masyarakat.  Dari mulai aksi yang halus sampai yang paling anarkis pun mendapat dukungan dari masyarakat.
Simpati dan dukungan seperti itu sekarang tidak lagi didapatkan. Kondisi ini selayaknya membuat aksi mahasiswa perlu mencari sebuah tonggak baru. Bagaimanapun juga, sebuah tonggak diperlukan untuk membuat mahasiwa kembali memahami di mana peran dan posisinya. Seperti kata sosiolog Pierre Bourdeou, mahasiswa perlu menciptakan habitus baru, yang lebih mengedepankan intelektual ketimbang “anarkis.” Zaman sudah berubah sehingga mahasiswa tidak lagi bisa memakai cara yang sama untuk mendekati permasalahan yang berbeda. Aksi demonstrasi dengan mengganggu dan merusak kepentingan umum harus dihentikan. Reorientasi harus dilakukan.
Reorientasi Gerakan
Dengan berubahnya situasi dan kondisi di masyarakat, maka sudah saatnya  mahasiswa mereformasi diri dan melakukan otokritik terhadap cara-cara memperjuangkan aspirasi. Masyarakat juga mulai menyangsikan:  “Apakah aksi demonstrasi itu masih cukup efektif menekan keinginan pemerintah dan DPR untuk menaikkaan harga BBM?” Dengan demikian, mahasiswa tidak menjadikan demonstrasi sebagai satu-satunya cara  mempengaruhi kebijakan pemerintah dan merebut simpati masyarakat. Ada beberapa cara yang dapat dijadikan alternatif.   
Pertama, energi mahasiswa lebih tepat bila diarahkan ke upaya pemberdayaan masyarakat yang mulai terkena dampak rencana kenaikan harga BBM. Dengan turun ke masyarakat, mahasiswa akan belajar, memahami dan melihat secara langsung beban hidup masyarakat. Harapannya, timbul rasa empati atas penderitaan yang dialami masyarakat. Jika itu bisa dilakukan, tentu  masyarakat akan balik memberikan simpati kepada mahasiswa. Tidak seperti sekarang di mana mahasiswa justru menjadi lawan dari masyarakat yang diperjuangkannya.
Kedua, aksi mahasiswa dapat juga menggunakan media sosial seperti Facebook dan Twitter. Kedua media sosial ini telah terbukti menjadi perangkat penting bagi gerakan perlawanan. Medium ini juga dianggap mempunyai efektivitas besar dalam menjaring dukungan massa ataupun sebuah tuntutan. Aksi dukungan kepada dua pimpinan KPK periode lalu, Bibit Samad Rianto-Chandra M Hamzah, dan “koin keadilan” bagi Prita Mulyasari merepresentasikan efektivitas kedua media sosial ini. Saat Bibit-Candra ditahan polisi pada Oktober 2009, publik merespon dengan  menggalang 1,3 juta dukungan melalui Facebook. Akhirnya Bibit-Candra dilepas dari tahanan polisi dan kembali menjadi pimpinan KPK.
Solidaritas publik juga ditunjukkan pada gerakan pengumpulan uang receh bagi Prita Mulyasari. Curahan hati Prita seputar layanan kesehatan RS Omni melalui surat elektronik menunai denda Rp 204 juta. Jalan panjang prita mencari keadilan menyebar lewat Facebook dan segera menarik simpati masyarakat. Publik merepresentasikan nuraninya yang ditohok oleh  keadilan hukum dengan wujud aksi solidaritas. Simbolisasi uang receh yang digunakan untuk membantu Prita menjadi bagian dari bahasa perjuangan rakyat menghadapi pihak yang berkuasa.
Sekarang tinggal bagaimana mahasiswa bisa memancing emosi masyarakat melalui kedua media sosial ini. Itu tantangan yang harus ditaklukkan oleh teman-teman aktivis, agar rencana pemerintah menaikkan BBM mendapat tantangan luas dari masyarakat. Selamat berjuang kawan…! 

Title Post: Mahasiswa dan Aksi Tolak Kenaikan BBM
Rating: 100% based on 99998 ratings. 5 user reviews.
Author: Unknown

Terimakasih sudah berkunjung di blog-kusaeri, Jika ada kritik dan saran silahkan tinggalkan komentar

1 komentar:

Unknown mengatakan...

terimakasih infonya sangat bermanfaat, kunjungi http://bit.ly/2CWVeP9

Posting Komentar