Selasa, 20 November 2012

Apakah Islam Diskriminatif terhadap Perempuan?


Judul di atas sengaja diakhiri dengan “tanda tanya” bukan “ titik.” Mengapa? Itu sebagai refleksi kegelisahan penulis, setelah beberapa waktu lalu mengikuti konferensi nasional tentang Islam dan kepemimpinan perempuan. Dalam sebuah sesi, diperdebatkan dengan sengit ketentuan-ketentuan dalam Islam yang dianggap membelenggu dan mendeskreditkan perempuan. Benarkah demikian?
Interpretasi Deskriminatif
            Pandangan yang memberikan dasar legitimasi bagi diskriminasi, marginalisasi, dan subordinasi terhadap perempuan, tidak  hanya pada kitab-kitab tafsir, melainkan juga dalam kitab fiqih. Padahal, kitab ini terus dibaca oleh masyarakat muslim dari waktu ke waktu, dan disosialisasikan secara berkesinambungan dari generasi ke generasi. Karenanya, pandangan-pandangan itu akan diyakini sebagai hokum agama yang dinyatakan oleh teks-teks otoritatif secara eksplisit. Dampaknya, pandangan itu memiliki tingkat sakralitas seperti agama sehingga gugatan dan kritik yang ditujukannya dimaknai sebagai gugatan dan kritik terhadap agama itu sendiri.
            Pemahaman terhadap teks-teks agama, baik yang berasal dari al-Qur’an dan al-Hasits yang berakibat merendahkan kaum perempuan merupakan kekeliruan dalam menafsirkan teks-teks tersebut, serta kesalahan dalam memberikan interpretasi. Oleh karena itu, pandangan semacam itu perlu diuji kebenarannya dan dicarikan akar masalahnya. Nasr Hamid Abu Zayd (2008) menjelaskan secara tegas adanya penindasan kaum laki-laki terhadap perempuan dalam berbagai bentuk dan dengan menggunakan berbagai media. Penindasan itu merefleksikan ketakutan laki-laki yang kemudian berupaya menjauhkan dan meminggirkannya. Dalam hal ini, agama dipergunakan sebagai perangkat ideologis untuk menegakkan dominasi laki-laki. Pada tataran realitas kehidupan sekarang, pandangan-pandangan konservatif ini tengah menghadapi proses alienasi sosial. Keniscayaan perkembangan sosial, ekonomi, dan politik dewasa ini telah menuntut dan memaksa kaum perempuan terlibat dalam aktivitas-aktivitas yang bukan hanya pada  ruang domestik, namun juga  ruang-ruang publik secara lebih luas. Ini merupakan keniscayaan perkembangan modernisme yang tidak dapat disangkal.    
            Persoalan itu muncul lantaran adanya problem pemaksaan teks-teks keagamaan dan penafsiran, serta pentakwilannya bermuara pada interpretasi yang diskriminatif serta sempitnya wawasan. Akibatnya, penafsiran itu sendiri dianggap sebagai kebenaran agama yang tidak bisa disanggah atau dikritik.
            Dalam kerangka mengaktualisasikan kembali prinsip-prinsip dan cita-cita Islam, maka tidak ada jalan lain kecuali melakukan pemaknaan ulang (ta’wil)  atas tafsir-tafsir di atas. Dengan demikian, Islam dapat tetap memberikan apresiasinya terhadap dinamika sosial yang terus berkembang, tanpa harus terjebak pada praktik-praktik relasi yang kurang bermartabat. Pertama, tafsir merupakan cara seorang mufassir berupaya mengungkapkan makna-makna teks yang menjadi acuan atau sumber legitimasi.Tegasnya, tafsir adalah produk pemikiran. Oleh karenanya, seringkali terjadi pengungkapan makna atas satu teks oleh seorang mufassir berbeda dengan makna yang ditemukan oleh mufassir lain. Hal ini terjadi karena adanya perbedaan perspektif, kecenderungan, kemampuan, maupun sumber informasi.
            Kedua, adalah keniscayaan bahwa latar belakang sejarah sosial para mufassir memberikan pengaruh yang signifikan bagi pemikiran-pemikirannya. Artinya, pandangan-pandangan mereka merupakan refleksi atas konteks sejarah sosial mereka. Mengingat sejarah selalu memperlihatkan dialektika perubahan, maka produk-produk pemikiran sejatinya tidak harus selamanya dipertahankan dalam segala ruang dan waktu sosial.
            Ketiga, kecenderungan umum dalam pemaknaan teks adalah secara literal dan mengabaikan pemaknaan subtansial. Satu teks (lafadz) hanya dimaknai menurut makna lahiriyah. Padahal, di dalam makna lahiriah tersebut tersembunyi pesan-pesan fundamental yang ingin ditegakkan. Pesan fundamental agama adalah keadilan dan kemaslahatan (kebaikan sosial). Pesan-pesan inilah yang seharusnya menjadi perhatian utama ketika memaknai kembali teks-teks. Untuk itu, dalam memaknai teks, analisis tentang sejarah social, politik, ekonomi, dan budaya tempat ayat-ayat tersebut diturunkan mutlak diperlukan.

     

Title Post: Apakah Islam Diskriminatif terhadap Perempuan?
Rating: 100% based on 99998 ratings. 5 user reviews.
Author: Unknown

Terimakasih sudah berkunjung di blog-kusaeri, Jika ada kritik dan saran silahkan tinggalkan komentar

0 komentar:

Posting Komentar