Selasa, 20 November 2012

Neoliberalisme dalam Perspektif Pendidikan Kita


Sejak Boediono dipinang secara resmi oleh SBY untuk maju bersama dalam pilpres bulan Juli 2009  mendatang, istilah neoliberalisme seolah-olah menjadi istilah yang populer dalam perdebatan publik baik di televisi maupun media cetak. Dalam perkembanganya istilah ini menjadi begitu mudah dan sering disebut orang, bahkan banyak orang latah mengucapkan istilah ini  meskipun kadangkala sebenarnya mereka belum tentu paham  maknanya. Neoliberalisme yang biasanya terbatas dikomsumsi  para akademisi di kampus, sekarang populer dan masuk dalam wilayah komoditas politik publik. 
Bahkan lawan-lawan politik SBY menjadikan isu neoliberalisme ini sebagai amunisi untuk menyerang  SBY. Caranya dengan memberikan gambaran kepada masyarakat baik melalui iklan, dialog, ataupun kampanye langsung bahwa pemerintahan SBY ke depan akan menjadi antek asing dan tak peduli dengan wong cilik.
Tulisan ini tidak akan terjebak dan larut dalam membahas neoliberalisme dalam konteks politik. Apapun ideologi yang diusung para capres, menurut hemat penulis tidak penting. Yang terpenting adalah bila kelak mereka terpilih menjadi presiden, mereka dapat memenuhi janji-janji politik yang diobral selama masa kampanye sebulan lebih ini. Janji akan meningkatkan kesejahteraan rakyat, berjuang untuk rakyat, menjamin stabilitas keamanan, dan lebih memperhatikan dunia pendidikan adalah gambaran menu utama yang disajikan para capres dan tim suksesnya dalam setiap kesempatan kampanye.
Janji akan lebih memperhatikan dunia pendidikan menjadi paling menarik bagi kita yang berada di dunia pendidikan sebab, di sinilah letak strategis bangsa ini ke depan.  Ancaman neoliberalisme atau apapun namanya dalam konteks percaturan global, bila sumber daya manusia Indonesia disiapkan dengan baik maka akan memunculkan ketahanan dan daya saing bangsa, sehingga tidak perlu dipermasalahkan  dan dikawatirkan. Oleh karena itu, tulisan ini akan mencoba menyoroti bagaimana melakukan langkah-langkah antisipatif dan preventif dalam menangkal serta menghadapi arus neoliberalisme.  
Apa itu Neoliberalisme ?
            Menurut konsensus Washington (1999), neoliberalisme memiliki ciri utama sebagai berikut : (1) terjadinya pasar bebas; (2) potong anggaran pemerintah untuk pelayanan sosial dan pisahkan dari proses ekonomi; (3) profit is GOD dan hilangkan konsep “ THE PUBLIC GOOD” atau “C OMMUNITY” dan ganti dengan “tanggung jawab pribadi-individu; dan (4) galakan privatization. Selanjutnya, apa agenda neoliberalisme dalam dunia pendidikan ?
            Menurut paham ini, guru adalah pekerja yang amat menentukan dan sekaligus dianggap berhahaya. Sebab guru berkaitan erat dengan proses produksi sosial tenaga kerja, mempersiapkan tenaga dengan pengetahuan dan ketrampilan, sikap serta kepribadian yang  sekaligus bisa merupakan ancaman bagi proses tenaga kerja kapitalis. Oleh karena itu pendidikan perlu dikontrol, agar pendidikan berjalan sebegitu rupa sehingga tidak membahayakan proses produksi kapitalis. Salah satunya adalah dengan mengendalikan kurikulum pendidikan guru dan penelitian pendidikan.
Pendidikan: Benteng Neoliberalisme
Memang, globalisasi dengan konsep neo-liberalnya yang melanda dunia pada saat ini, mau tidak mau telah berpengaruh terhadap segala sektor kehidupan  tanpa terkecuali sektor pendidikan yang ada di Indonesia. Hal ini terbukti, dengan adanya indikasi beberapa kebijakan dan praktek pendidikan yang mulai mengarah pada komersialisasi  pendidikan. Misalnya, biaya pendidikan tinggi yang semakin mahal di beberapa perguruan tinggi negeri berstatus BHMN, telah berdampak pada semakin terbatasnya kesempatan masyarakat strata tertentu untuk dapat mengenyam pendidikan tinggi berkualitas.
Agar pendidikan tidak menjadi objek dari sistem neo-liberal ini, tentu saja pendidikan harus mampu memainkan peranan penting dalam kajian dan diskusi kehidupan sosial neo-liberal. Karena dalam konteks ini sebenarnya pendidikan dapat diperankan tidak hanya sekedar sebagai instrumen untuk mendapatkan barang dan jasa, namun pendidikan dituntut mampu memberikan tekanan pada individu bahwa penentu barang dan jasa yang akan dikonsumsi diputuskan secara bijak, serta mengajarkan berkonsumsi dengan dasar informasi yang cukup, baik, benar, dan jauh dari berlebih-lebihan atau  mubazir.
Pendidikan harus mampu menghasilkan individu-individu yang tangguh, yang dapat bersaing dan berkompetisi dalam percaturan global. Individu-individu yang mempunyai karakter disiplin, memiliki etos kerja tinggi, jujur, ulet dan menghargai waktu merupakan individu yang dibutuhkan dalam era neo-liberal ini. Namun, untuk menghasilkan individu-individu seperti yang diharapkan di atas, dunia pendidikan sering terbentur dengan masalah pendanaan. Akibatnya, komersialisasi pendidikan tidak dapat dielakkan. 
Ada beberapa dampak yang bisa ditimbulkan bila terjadi komersialisasi pendidikan. Pertama, komersialisasi pendidikan berdampak pada terciptanya stratifikasi berdasarkan status sosial ekonomi para siswa/mahasiswanya. Munculnya stratifikasi berdasarkan status sosial ekonomi ini merupakan hal yang tak bisa dihindari, karena kecenderungannya orang tua siswa  dari kelompok menengah ke atas akan   memilih sekolah yang biayanya mahal. Meski tidak sepenuhnya benar bahwa yang “mahal yang berkualitas”, kultur masyarakat  yang berkembang saat ini cenderung masih melihat bahwa sesuatu yang mahal biasanya bagus dan yang  murah umumnya rentan, cepet rusak, dan kurang berkualitas. Kultur ini  masih mempengarahui sebagian besar masyarakat. 
Kedua, komersialisasi pendidikan mengakibatkan terjadinya ketimpangan mutu pendidikan. Ketimpangan mutu pendidikan terjadi karena   sekolah/PT yang dapat menghimpun banyak dana dari masyarakat, maka mereka akan leluasa melengkapi sarana dan prasarana yang dibutuhkan dalam pembelajaran. Sementara, bagi sekolah/PT yang hanya mengandalkan kucuran dana dari pemerintah, seringkali lambat dalam meningkatkan mutunya. Sekolah-sekolah di pedesaan juga akan semakin timpang dengan sekolah-sekolah di perkotaan, karena umumnya sekolah di pedesaan orang tua siswanya kebanyakan dari kalangan petani dan kaum yang termajinalkan.  Terjadinya kesenjangan mutu pendidikan apabila bila dibiarkan, maka akan dapat menebar benih-benih disharmonisasi antar sekolah/PT bahkan antar komponen bangsa.  
Ketiga, komersialisasi pendidikan berdampak pada perubahan fungsi pendidikan menjadi aktivitas bisnis.  Kita tahu bahwa prinsip para pelaku bisnis adalah bila mereka melakukan investasi dalam bentuk penanaman modal, maka balikanya adalah keuntungan. Dengan demikian, meraih keuntungan sebesar-besarnya merupakan tujuan utamanya. Bila hal ini terjadi pada bidang pendidikan, maka orang tua siswa/mahasiswa akan dieksploitasi sebesar-besarnya agar investasi untuk membangun sarana prasarana yang telah dikeluarkan  segera kembali. Misi sosial pendidikan dan tujuan mencerdaskan masyarakat tergadaikan. Sekolah/PT yang menerapkan prinsip ini dalam setiap aktivitasnya akan selalu mempertimbangkan  untung rugi. Akibatnya, siswa yang membawa keuntungan bagi lembaga saja yang diterima. Lalu, akan dikemanakan anak-anak bangsa yang dipandang tidak membawa keuntungan?
Keempat,  kapitalisme pendidikan mengakibatkan kompetisi tidak sehat dalam penerimaan siswa dan mahasiswa baru. Pada tahun ajaran baru seperti sekarang ini, orang tua siswa/mahasiswa sibuk mencarikan anaknya agar dapat mengenyam pendidikan sesuai yang diharapkan. Kadangkala muncul cara-cara yang tidak benar, dengan cara main mata dengan pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Akibatnya, siswa dari keluarga strata ekonomi yang termarginalkan menjadi korban dan harus tersingkir. Di sinilah seringkali muncul kompetisi yang tidak sehat. 
 Untuk mengatasi berbagai permasalahan sosial yang diakibatkan oleh komersialisasi pendidikan yang ada, maka campur tangan dan kemauan politik (political will) pemerintah yang menempatkan pendidikan sebagai investasi ke depan yang dibuktikan dengan pelaksanaan sistem pendidikan yang adil, merata, bermutu, dan kompetitif sangat diperlukan.  Oleh karena itu komitmen para pemimpin negara dan penyelenggara negara siapapun orangnya sangat diharapkan memiliki sense of education yang memadai untuk memajukan pendidikan di negeri ini. Karena kebijakan-kebijakan reformasi pendidikan seperti : (1) model pengembangan kurikulum dan peningkatan sumber daya pendidikan yang menjamin ketangguhan kompetisi di era globalisasi; (2) pengembangan  model subsidi pendidikan yang menjamin keadilan dan pemerataan pendidikan; dan (3) model manajemen pendidikan yang menjamin peningkatan mutu pendidikan merupakan bagian yang harus mendapatkan perhatian pemerintah dalam menghadapi tantangan di era global. Kembali pada agenda neoliberalisme pendidikan yang telah diuraikan sebelumnya maka perlu dilakukan rekonstruksi kurikulum.

Rekonstruksi Kurikulum “Plus”
            Di tengah percaturan global dan arus neo-liberal, dengan segenap tantangan dan kesempatan yang terbuka, maka kemampuan, nilai dan sikap yang perlu dikuasai oleh manusia terdidik Indonesia mengutip pernyataan Soedijarto (2008) adalah  manusia terdidik yang memiliki: (1) kemampuan, nilai dan sikap yang memungkinkannya berpartisipasi secara aktif dan cerdas dalam proses politik, (2)  kemampuan, etos kerja dan disiplin kerja yang memungkinkannya aktif dan produktif berpartisipasi dalam berbagai kegiatan ekonomi, (3) kemampuan dan sikap ilmiah untuk dapat mengembangkan IPTEK melalui kemampuan penelitian dan pengembangan, dan (4) kepribadian yang mantab, berkarakter dan bermoral, serta berakhlak mulia. 
Mengacu pada empat gugus kemampuan, nilai dan sikap di atas, muncul pertanyaan: ”Materi pendidikan apakah yang harus dijadikan objek belajar?” Undang-undang No. 20 Tahun  2003 memberikan jawaban materi-materi yang harus dijadikan objek belajar di antaranya: pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan, bahasa, matematika, ilmu pengetahuan alam, ilmu pengetahuan sosial, kerajinan tangan dan kesenian, pendidikan jasmani dan kesehatan, menggambar dan bahasa Inggris.
Menjawab pertanyaan tentang  mengapa suatu bahan kajian harus ditempuh oleh siswa, Philip Phenix (1964) lewat pengamatannya terhadap perkembangan peradaban, memandang perlunya generasi muda siap melanjutkan perkembangan peradaban tersebut. Berangkat dari pemahamannya tentang hakikat perkembangan peradaban, ia mengidentifikasikan enam wilayah yang bermakna dalam menjadikan peserta didik memahami makna dunia di mana mereka hidup dan mengembangkan diri. Keenam wilayah makna tersebut adalah   symbolics, empirics, synnoitics, aesthetics, ethics, dan synoptics. Symbolics mencakup bahasa, matematika, dan berbagai simbol lainnya seperti bahasa tubuh (gesture), empiric meliputi  ilmu pengetahuan tentang jagad raya, hewan, tumbuhan dan manusia. Synnoitics merupakan materi yang dapat menimbulkan kesadaran langsung, aesthetics mencakup berbagai jenis seni, seperti musik, tari, ataupun lukis, serta synoptics mencakup sejarah, agama, dan filsafat.
Ada titik temu antara materi yang harus diberikan kepada siswa, menurut UU No. 20 tahun 2003 dengan pendapat Philip Phenix.. Namun, yang terpenting sebaik apapun suatu bahan kajian atau kurikulum yang dirancang bila tidak dilaksanakan oleh guru yang memiliki kemampuan  profesional maka kurikulum tersebut kurang berarti. Ia hanya akan menjadi seonggok kertas yang tiada arti. Pengalaman masa lalu menunjukkan bahwa walaupun kurikulum telah disusun dengan baik ternyata belum dilaksanakan secara baik di lapangan. Akibatnya, dunia pendidikan kita belum sanggup melahirkan generasi yang utuh jati dirinya, ulet, dan beretos kerja tinggi sehingga mereka mampu menghadapi arus global dan neo-liberal.
Pendidikan kita telah menghasilkan manusia yang cerdas, tetapi seringkali kehilangan sikap jujur dan rendah hati. Pendidikan kita telah menghasilkan manusia terampilan, tetapi seringkali kurang menghargai sikap tenggang rasa dan toleransi. Imbasnya, nilai-nilai kesalehan, baik individu maupun sosial, menjadi sirna. Bahkan di masyarakat, misalnya perilaku agama sebagai salah satu kekuatan potensial seringkali hanya menjadi simbol. Kesalehan sosial yang seharusnya dikembangkan di tengah-tengah kehidupan bermasyarakat justru direduksi oleh kesalehan ritual yang seringkali tanpa makna.
Memicu Kesadaran
            Gencarnya isu neo-liberal akhir-akhir ini, kiranya dapat menggugah kesadaran kita  yang bergelut di dunia pendidikan untuk bersama-sama memperbaiki dunia pendidikan. Penyikapan yang sinis terhadap isu ini menunjukkan ketidaksiapan kita berkompetisi secara sehat dalam percaturan global yang tidak bisa dihindari lagi. Kebersamaan   semua pihak pemerintah/pemerintah daerah dan masyarakat dalam sinergi yang menguntungkan, dengan tetap pada koridor keberpihakan untuk memajukan pendidikan sangatlah diperlukan. Kapitalisasi pendidikan, komersialisi pendidikan, atau apapun namanya hendaknya dihindari dengan tetap berpegang pada kebersamaan ini. 
            Beberapa langkah penting yang mesti dilakukan oleh pemerintah adalah sebagai berikut. Pertama, melakukan rekonstruksi kurikulum ”plus.” Artinya, perlu dilakukan perombakan kurikulum secara terus menerus dengan memperhatikan perkembangan sosial, ekonomi, politik dan budaya yang diimbangi dengan pengembangan profesionalitas guru. Sertifikasi guru yang terjadi saat ini belum menyentuh akar masalah, hanya ritual administratif saja. Untuk itu perlu menengok apa yang dilakukan oleh James B. Conant (1973) sebagai bagian dari reformasi pendidikan di Amerika Serikat (AS) akibat ketinggalan AS dalam teknologi ruang angkasa, mensyaratkan calon guru haruslah mereka (lulusan SMA) yang berada pada peringkat 20 persen ke atas. Dalam konteks Indonesia, syarat itu bisa ditiru dan dimodifikasi dengan menambahkan persyaratan harus mempunyai dedikasi dan komitmen yang kuat serta memiliki jiwa sebagai pendidik. Dengan demikian, ke depan benar-benar diperoleh guru-guru yang profesional.
Kedua, pemerintah perlu memenetapkan kebijakan pemberian subsidi pendidikan yang menjamin penyelenggaraan sistem pendidikan yang adil, merata, bermutu dan kompetitif. Kebijakan sekolah gratis yang saat ini diberlalukan, perlu terus ditingkatkan dan dievaluasi. Apakah model sekolah gratis relevan dengan kondisi pendidikan di Indonesia saat ini? Bukankah tawaran dari para ahli, yakni model “sekolah terjangkau” perlu dipertimbangkan ke depan? Hal itu mengingat pada “sekolah terjangkau” peran serta masyarakat utamanya mereka yang secara stratifikasi sosial lebih mampu dari mereka yang termarginalkan dapat diwadahi oleh sekolah. Subsidi silang pada “sekolah terjangkau” di antara stratum yang ada merupakan  wujud kepedulian sesama dalam keadilan yang berperikemanusiaan
Ketiga, pemerintah harus menyelenggarakan sistem pendidikan nasional yang adil, merata, bermutu dan kompetitif agar dapat meraih kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat bangsa Indonesia. Dalam konteks ini, temuan Unesco (1996) yang menyatakan bahwa perluasan kesempatan memperoleh pendidikan di negara berkembang yang tidak didukung upaya peningkatan mutu bukannya akan menunjang pembangunan bangsa,  akan tetapi malah melahirkan persoalan baru bangsa karena tenaga manusia yang dihasilkan tidak berkualitas. Ini berarti sinyalemen Unesco tersebut harus disikapi oleh anak bangsa dengan penuh maklum dan seharusnya tidak perlu terjadi.
Pada akhirnya ke depan kita tidak lagi mengirim para “kuli” dan “babu” ke luar negeri yang tentu mereka dibayar murah, sedangkan kita mendatangkan para konsultan asing dengan gaji selangit. Akan tetapi, kondisi itu berbalik dengan mengirim tenaga ahli ke berbagai negara sebagai konsultan yang  tentunya akan mendatangkan devisa negara yang tidak kecil lagi. Harapan itu akan terwujud bila kita mampu bersaing dan mempunyai kualitas lebih. Semoga presiden yang terpilih kelak adalah presiden yang peduli terhadap dunia pendidikan, dan komit terhadap pentingnya sumber daya manusia yang berkualitas, punya wisdom dalam menyikapi intervensi asing. Bahkan jangan sampai terjadi “tergadaikannya negeri ini bagi kepentingan asing, sehingga anak bangsa menjadi orang asing di negeri sendiri.

Title Post: Neoliberalisme dalam Perspektif Pendidikan Kita
Rating: 100% based on 99998 ratings. 5 user reviews.
Author: Unknown

Terimakasih sudah berkunjung di blog-kusaeri, Jika ada kritik dan saran silahkan tinggalkan komentar

1 komentar:

Ilham Brilyan mengatakan...

gabisa di copy hhhhh

Posting Komentar