Senin, 22 Oktober 2012

Nilai Strategis Ujian Nasional (UN)


Pada akhir bulan Juni 2009, media masa (elektronik maupun cetak) gencar memberitakan tentang ujian nasional (UN), mulai dari isu bocornya kunci jawaban, beragam kecurangan baik yang dilakukan oleh siswa ataupun oknum guru,  beberapa protes yang menentang pelaksanaan UN, dan pro-kontra pelaksanaan UN pengganti.
Pertanyaan yang muncul: “Mengapa  pemerintah bergeming dengan berbagai kritik dan sorotan media serta tetap malaksanakan UN?” Terkait dengan kebijakan UN tersebut, maka tulisan ini mencoba menganalisis dari sudut “teori pengukuran dan penilaian” dan sebuah tawaran solutif agar UN di masa yang akan datang tidak lagi kisruh dengan berbagai kecurangan seperti yang terjadi belakangan ini.
Mengapa UN Penting?      
Sistem penilaian yang baik bergantung pada jenis penilaian yang  sesuai dan informasinya dapat dengan mudah dipahami oleh  orang yang membutuhkan. Di samping itu, keputusan hasil penilaian dapat digunakan untuk memaksimalkan potensi siswa dalam pembelajaran. Drake (2007) membagi  jenis penilaian ke dalam 3 kelompok, yakni assessment for learning (AFL), assessment of learning (AOL), dan assessment as learning (AAL). Namun, AAL tidak banyak literature yang membahas. Oleh karena itu, hanya akan dibahas peran dan perbedaan antara AFL dan AOL.
AFL bertujuan untuk memberikan informasi kepada siswa, guru, dan orang tua. Dalam hal ini guru harus tahu target pembelajaran di kelas, karena AFL berbasis pada classroom assessment (Mansyur, 2009). Fungsi AFL sebagai quality assurance. Di sisi lain, AOL bertujuan untuk mengetahui seberapa banyak siswa sudah belajar dalam waktu tertentu, dan AOL berfungsi sebagai quality control (Swediaty, 2009). Perbedaan antara AFL dan AOL dapat dijelaskan sebagaimana Tabel 1.

Tabel 1
Perbedaan antara AFL dan AOL
No.
Overview
Assessment of Learning
Assessment for Learning
1.
Alasan
Laporan status prestasi
Membantu untuk belajar lebih banyak
2.
Menginformasi-kan
Kepada orang lain tentang siswa
Kepada siswa sendiri
3.
Fokus
Prestasi standar
Target-target prestasi turunan standar
4.
Contoh
Ujian Nasional (UN), UASBN, tes prestasi belajar, TIMSS, PIRL
Penilaian yang mendiga-nosis atau membentuk siswa
5.
Waktu
Sesudah belajar jangka panjang
Dalam proses belajar
Sumber: Swediati (2009)

Berdasarkan uraian di atas tampak bahwa UN/UASBN memiliki peran dan fungsi berbeda dengan penilaian yang seharusnya dilakukan oleh guru. Bila dicermati Undang-undang Sisdiknas No. 20 th. 2003 terkait peran evaluasi, pasal 57 menyebutkan bahwa evaluasi dilaksanakan dalam rangka pengendalian mutu pendidikan secara nasional sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggaran pendidikan kepada pihak-pihak berkepentingan. Hal ini diperkuat dengan Permendiknas No 78 th. 2008 pasal 2 yang menyebutkan UN bertujuan menilai pencapaian kompetensi lulusan secara nasional pada mata pelajaran tertentu dalam kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi. 
Dengan demikian, wajarlah bila pemerintah masih menyelenggarakan UN karena untuk mengukur sejauh mana tingkat pencapaian Standar Kompetensi Lulusan (SKL) bagi satuan pendidikan yang bersangkutan. UN perlu dilakukan sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggara pendidikan terhadap pihak-pihak yang berkepentingan. UN juga perlu dilakukan mengingat perbedaan kualitas sekolah yang satu dengan yang lain amat beragam (Widdiarto dan Kusaeri, 2009).
Di sisi lain, munculnya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) sejak tahun 2006 telah memunculkan pemahaman yang beragam dan banyak orang mengatakan ”Apakah dengan diberlakukannya KTSP maka UN masih diperlukan?” Jawaban sederhana dari pertanyaan tersebut adalah bila dalam KTSP masing-masing sekolah diberikan kebebasan mengembangkan soal ujian untuk siswanya, maka sangatlah logis apabila mereka akan menyusun soal yang membuat siswanya semua lulus dengan nilai yang sangat memuaskan. SMA “X” misalnya, yang berada di pinggiran kota dengan banyak siswa hanya 12 orang dan oleh masyarakat dikenal hampir “sekarat” berhasil dengan tingkat kelulusan 97% dengan nilai rata-rata 87,50, sementara SMA “Y” yang cukup dikenal sebagai sekolah favorit, berhasil dengan tingkat kelulusan 90% dengan nilai rata-rata 86,00. Apakah kita bisa mengatakan bahwa SMA “X” lebih bagus dari pada SMA “Y”, yang secara nyata instrumen untuk mengukurnya berbeda?
Disinilah urgensinya UN sebagai alat ukur yang bisa digunakan sebagai benchmarking tatkala marginalitas kemampuan antara sekolah yang beragam antara satu sekolah dengan yang lain. Pada level nasional, hasil UN setidaknya akan dapat digunakan sebagai alat untuk memetakan bagaimana capaian siswa, sekolah, atau daerah tertentu pada standar nasional yang dipersyaratkan. Bukan tidak mungkin ketika semua sekolah sudah siap, ke depan bukan tidak mungkin UN akan ditiadakan dan sekolah dipersilakan melaksanakan ujian sendiri-sendiri.
Meminimalisir Kecurangan dalam UN: Sebuah Tantangan     
Target Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) menjadikan hasil ujian nasional (UN) SMA dan madrasah aliyah sebagai bahan pertimbangan seleksi penerimaan mahasiswa baru di perguruan tinggi negeri (PTN) pada 2012 tampaknya tidak akan mudah. Pasalnya, PTN menilai pelaksanaan UN masih butuh pembenahan serius agar lebih kredibel. Kecurangan dan ketidakjujuran yang dilakukan kepala sekolah dan guru, kebocoran soal, beredarnya kunci jawaban dan berbagai jenis tindakan tidak terpuji lainnya masih seringkali terungkap setiap kali dalam pelaksanaan UN. Bahkan 33 sekolah di Indonesia diidentifikasi melakukan kecurangan secara sistematik dan masif sehingga kepada mereka harus dilakukan UN pengganti.
Mengapa hal itu bisa terjadi? Bila ditelusuri ternyata penentuan stándar kelulusan yang digunakan dan setiap tahun dinaikan cenderung memicu terjadi beragam kecurangan secara masif dan sistematik tersebut. Bukankah hasil UN seringkali dijadikan indikator keberhasilan (gengsi) sekolah?  Bahkan para pemangku kepentingan pun (Dinas Pendidikan dan pemerintah daerah) ikut-ikutan menganggap keberhasilan UN merupakan indikator keberhasilannya.
Keberhasilan lulus UN 100% seringkali menjadi target kepala daerah dan hal ini berdampak dengan cara menekan para guru, kepala sekolah, dan dinas pendidikan.  Bila mereka tidak dapat memenuhi target itu, guru, kepala sekolah dan kepala dinas pendidikan diancam dimutasi atau bahkan dinonjobkan. Akibatnya, berbagai cara dilakukan oleh guru, kepala sekolah dan kepala dinas pendidikan agar dapat memenuhi ambisi kepala daerah.
Mencermati fenomena itu, maka sudah waktunya ke depan pola kebijakan UN dapat meniru pola UASBN yang sudah berjalan 3 tahun. Artinya, hasil UN tidak dijadikan sebagai penentu kelulusan siswa tetapi lebih merupakan pemetaan mutu program dan/atau satuan pendidikan. Dengan demikian, beragam kecurangan dalam UN yang seringkali terjadi dapat diminimalisir seperti halnya sepinya kecurangan yang terjadi pada UASBN yang tidak pernah kita dengar.
            Dengan demikian, UN akan semakin kredibel di mata pimpinan PTN  sehingga keinginan hasil UN menjadi dasar seleksi masuk jenjang PTN segera terwujud.  Dengan mengubah pola kebijakan UN meniru UASBN maka hasil UN semakin  dapat dijadikan dasar pembinaan serta pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan. Dari sini, akan terlihat dengan jelas mutu pendidikan kita di seluruh Indonesia. Dari hasil itu pula akan tampak, mana satuan pendidikan yang perlu dibantu agar mutunya bisa ditingkatkan (www. un.snmptn.or.id, 2009-a).
Karena itu, tidak boleh ada pemaksaan atau penyeragaman kriteria kelulusan UN yang tidak sesuai dengan keputusan sekolah. Berapapun nilai minimal yang sudah ditentukan oleh sekolah, maka hal itu harus diterima oleh pemerintah daerah. Nah, dengan pemberian kewenangan kriteria kelulusan kepada masing – masing sekolah inilah, upaya untuk mendapatkan pemetaan sebagaimana yang diinginkan dari hasil UN menjadi akan terpenuhi. Sebab dengan cara itulah kondisi sebenarnya dari masing – masing sekolah akan terlihat.

Refleksi
Fenomena kecurangan dan ketidakjujuran dalam UN menarik untuk dicermati. Mengapa? Karena dengan masih suburnya kecurangan dan ketidakjujuran UN maka semakin tipislah harapan Depdiknas meyakinkan pimpinan PTN agar hasil UN menjadi dasar seleksi masuk PTN pada tahun 2012.  Semua pihak juga harus menyadari, dengan adanya kecurangan dan ketidakjujuran pada UN inilah para siswa  diajari dan dikenalkan cara-cara yang busuk, menghalalkan segala cara, yang jelas-jelas melanggar aturan main yang bisa menimbulkan friksi-friksi tidak sehat. Bagi kita yang berkecimpung di dunia pendidikan, tentu ini meracuni  dan akan merugikan kepentingan generasi penerus bangsa dalam jangka panjang. Inilah proses pembusukan karakter yang sistematik dan masif.
Dalam konteks inilah kita perlu merenung dan melakukan refleksi. Dengan cara-cara itu, tujuan dicapai dengan menghalalkan segala cara. Generasi penerus bangsa diajari untuk berbangga pada hasil, walaupun proses untuk mendapatkannya penuh kecurangan dan ketidakjujuran. Hal penting yang tertancap abadi di benak mereka adalah ketidakjujuran yang dilegalkan bukanlah perbuatan melanggar norma hukum.
Legalitas terhadap ketidakjujuran itu lambat laun menjadi etos kerja, yang tercermin melalui komitmen pribadi. Mereka mendefinisikan pengertian profesional sebagai usaha untuk hidup layak dengan berbagai cara yang dilegalkan. Semakin permisif sikap suatu bangsa terhadap hal tersebut, maka seolah-olah karakter itulah yang dianggap paling benar. Kaum terdidik hanya memerlukan keahlian atau keterampilan saja. Komitmen moral boleh dinomor duakan (www.un.snmptn.or.id, 2009-b).
Padahal apa pun profesinya diperlukan komitmen moral yang tinggi. Tanpa landasan itu, keahlian atau jabatan seseorang mudah disalahgunakan. Mereka masuk ke dalam ranah penuh dengan perilaku mafia. Mafia pendidikan, mafia pengadilan, mafia pertanahan, mafia perizinan, mafia pelayanan, dan sebagainya. Kalau terjadi, seahli-ahlinya mafia, tidak dapat dianggap profesional dalam pengertian sebenarnya. Apa untungnya jika pendidikan di proses ala mafia? Yang pasti, usaha untuk melakukan pemetaan kwalitas pendidikan berdasarkan hasil UN menjadi lebih bersifat semu. Sekolah jelek mutunya dianggap bagus. Gambar bagus tidak mencerminkan keadaan sebenarnya. Lembah digambar gunung. Comberan dikatakan danau jernih. Semak belukar dianggap sawah siap panen.
Begitulah kira-kira hasil kinerja para mafia yang ahli membuat wajah berseri-seri, untuk menutupi realita yang selalu jujur. Kalau masih mungkin berharap, dunia pendidikan seyogianya jangan disusupi oleh mentalitas mafia. Dalam jangka panjang jelas akan menghancurkan negeri ini.
Ketidakjujuran yang memenuhi azas legalitas pada hakikatnya tetap sebagai ketidakjujuran. Manakala nilai itu dijadikan komitmen moralitas, maka akan semakin merebak operasi ala mafia yang pragmatik. Kita berharap hal itu tidak terjadi, khususnya di dunia pendidikan. Kokoh atau robohnya suatu bangsa dimulai dari sini. Oleh karena itulah, sudah saatnya dipikirkan kebijakan UN yang tidak lagi mengedepankan standar kelulusan  secara seragam. Mungkin pola UASBN dapat digunakan mengganti pola UN yang digunakan selama ini agar kehancuran bangsa Indonesia di masa mendatang tidak terjadi.  Dengan demikian maka UN akan memiliki makna strategis dalam dunia pendidikan di Indonesia.

Referensi
Drake, Susan M., 2007. Creating Standards-Based Integrated Curriculum (Aligning Curriculum, Content, Asessment, and Instruction). California: A Sage Publication Company.
Mansyur, 2009. Pengembangan Model Assessment for Learning pada Pembelajaran Matematika di SMP. Ringkasan Disertasi tidak dipublikasikan. Yogyakarta: PPs Universitas Negeri Yogyakarta.
Peraturan Menteri, 2008. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional, Nomor 78 Tahun 2008 tentang Ujian Nasional Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah/Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa (SMP/MTs/SMPLB), Sekolah Menengah Atas Luar Biasa (SMALB) dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Tahun Pelajaran 2008/2009.
Undang-Undang, 2003. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Swediati, Nony, 2009. Assessment for Learning dan Assessment of Learning. Materi kuliah disampaikan pada tanggal 24 April 2009 Matakuliah Teori Respon Butir Lanjut. Yogyakarta: PPS Universitas Negeri Yogyakarta.
Widdiarto, Rahmadi dan Kusaeri, 2009. Pemilu, Ujian Nasional (Unas) dan Masyarakat. Opini pada SKH Kedaulatan Rakyat tanggal 4 April 2009.

Title Post: Nilai Strategis Ujian Nasional (UN)
Rating: 100% based on 99998 ratings. 5 user reviews.
Author: Unknown

Terimakasih sudah berkunjung di blog-kusaeri, Jika ada kritik dan saran silahkan tinggalkan komentar

0 komentar:

Posting Komentar