Minggu, 21 Oktober 2012

TRANSFORMASI NILAI-NILAI KARAKTER MELALUI PELAJARAN MATEMATIKA DI SEKOLAH


Pendidikan karakter menjadi isu menarik dan hangat dibicarakan kalangan praktisi pendidikan akhir-akhir  ini. Mengapa? Sebab, dunia pendidikan kita selama ini dianggap terpasung oleh kepentingan-kepentingan yang absurd, hanya mementingkan kecerdasan intelektual, akal, dan penalaran, tanpa dibarengi dengan intensifnya pengembangan kecerdasan hati, perasaan, dan emosi.
Kasus contek masal yang terjadi pada salah satu SD di Tandes Surabaya  merupakan satu bukti bahwa dunia pendidikan telah mengabaikan  aspek kejujuran  di sekolah (Pramodhawardani, 2011).
Dengan demikian, wajar apabila output pendidikan kita  menghasilkan orang-orang  cerdas, tetapi kehilangan sikap jujur (Yuwono Sudarsono, 2008:XXI). Imbasnya, apresiasi terhadap keunggulan nilai humanistik, keluhuran budi, dan hati nurani menjadi dangkal. Tidaklah mengherankan jika mereka menjadi pejabat melakukan tindakan-tindakan korup  yang merugikan negara dan masyarakat.
Laporan Kompas (20 Juni 2011) menunjukkan bahwa korupsi telah menggerogoti  seluruh komponen birokrasi pemerintah mulai dari eksekutif, legislatif dan yudikatif. Di pihak eksekutif, hingga saat ini tercatat 158 kepala daerah (gubernur, wali kota dan bupati) tersangkut kasus korupsi. Di Dewan Perwakilan Rakyat, lebih dari 42 anggotanya terseret kasus korupsi. Sementara itu, di institusi penegak hukum yang semula diharapkan bisa memperbaiki keadaan, ternyata kondisinya lebih parah. Ini artinya, pendidikan kita, setidaknya telah memiliki andil terhadap maraknya korupsi, kolusi, dan nepotisme yang menyebabkan Indonesia tergolong sebagai salah satu negara yang tingkat korupsinya tertinggi di dunia.
            Menyadari kenyataan itu, maka para pemerhati dan pemangku kepentingan memandang perlu melakukan reorientasi dan penataan terhadap apa yang hilang dan kurang disentuh oleh dunia pendidikan, yakni lebih fokus pada pembentukan karakter anak. Proses pembelajaran perlu didesain sedemikian rupa sehingga memungkinkan terjadinya pembentukan karakter melalui beragam aktivitas dan metode pembelajaran. Untuk itu, tulisan ini sedikit akan memberikan urun rembug bagaimana matematika memiliki peran dan berkontribusi  dalam pembentukan karakter anak.
A.    Karakter dan Dimensi Terkait
Menurut Wyne (1991:128), kata karakter berasal dari bahasa Yunani  yang berarti ‘to mark’  (menandai), yang memfokuskan pada aplikasi nilai kebaikan dalam bentuk perilaku atau tindakan. Istilah karakter juga memiliki  kaitan dengan personality (kepribadian) seseorang, di mana seseorang dikatakan berkarakter jika sikap dan perilakunya sesuai dengan kaidah moral tertentu. Strom (2002) mendefinisikan karakter sebagai suatu gabungan dari atribut-atribut pola sikap dan perilaku yang terpadu untuk mengangkat identitas seseorang dan membedakan setiap individu dengan yang lainnya. Dari kedua pengertian  itu, paling tidak terdapat dua kata kunci yang termuat dalam karakter, yaitu: sikap (attitude) dan  perilaku (behavior).  
Sikap merupakan faktor yang ada pada diri seseorang yang dapat memotivasi dan mendorong seseorang untuk berniat melakukan suatu tindakan (berperilaku). Sikap yang dimiliki seseorang tidak dibawa sejak lahir, tetapi merupakan produk dari sosialisasi dimana seseorang bereaksi sesuai dengan rangsangan yang diterima. Sikap seseorang terhadap objek atau rangsangan akan terbentuk melalui lingkungan sosialnya. Dengan kata lain, terbentuknya sikap melalui proses pembelajaran  dan diperoleh melalui pengalaman. Sikap menjadi dasar bertindak, dan tindakan menjadi ungkapan sikap itu. Bila tindakan dilakukan terus menerus secara konsisten sampai menjadi kebiasaan maka terjadilah pembentukan karakter seseorang.
Sekali sikap terbentuk, maka sikap akan cenderung bertahan. Oleh karena itu, sikap tidak hanya mempengaruhi niat untuk melakukan perilaku tertentu, melainkan juga mempengaruhi aspek-aspek psikologis lainnya, seperti dorongan untuk bekerja, berpendapat, berpersepsi dan sebagainya. Seseorang yang mempunyai sikap positif terhadap orang lain akan menunjukkan sikap positif pula terhadap kelompok di mana seseorang itu bergabung di dalamnya (Wening, 2007:60). Sikap yang telah terbentuk dan merupakan nilai dalam kehidupan seseorang akan relatif bertahan lama dan sulit berubah pada diri seseorang, akan tetapi sikap yang belum mendalam pada diri seseorang akan relatif tidak bertahan lama dan akan mudah berubah.  
Ciri-ciri karakter positif merupakan sesuatu yang bisa dan memang seharusnya dikembangkan. Ciri karakter positif perlu dimiliki setiap manusia, karena ciri karakter ini baik bagi diri sendiri, baik bagi keluarga dan baik pula bagi bangsa. Lewis (2004: 5) menyatakan bahwa ciri-ciri karakter seperti mengasihi, peduli, menghormati kehidupan, jujur, bertangung jawab, dan adil merupakan ciri karakter positif.  Mengembangkan ciri-ciri karakter positif seseorang berhubungan dengan nurani, keyakinan-keyakinan moral, pengalaman pribadi, pola asuh, hak-hak dan tanggung jawab, kebudayaan, hukum serta ekspektasi-ekspektasinya yang berhubungan dengan diri sendiri, sesama dan dengan dunia.
Seseorang yang berperilaku kejam, rakus, suka berfoya-foya dikatakan berkarakter jelek atau berkarakter negatif, sementara berperilaku suka menolong, berhemat, dan sederhana dikatakan sebagai orang yang berkarakter mulia.  Dengan demikian, seseorang disebut orang yang berkarakter jika tingkah lakunya sesuai dengan kaidah moral. Kaidah moral itu memiliki kaitan erat dengan nilai moral yang diyakini benar oleh sekelompok masyarakat.
 Suparno (1992:87) berpendapat bahwa nilai moral berisikan suatu pandangan dalam diri seseorang, bila moral dilihat dari aspek sikap.   Nilai moral bila dianggap sebagai perilaku, maka harus berwujud tindakan yang mencerminkan sikap seseorang. Lickona (1992:87) menambahkan bahwa memiliki pengetahuan nilai moral tidak cukup untuk menjadi manusia berkarakter. Namun, nilai moral itu harus disertai dengan karakter bermoral, dengan maksud  agar manusia mampu memahami, merasakan, dan sekaligus mengerjakan nilai-nilai kebajikan. Termasuk karakter bermoral adalah  pengetahuan tentang moral (moral knowing), perasaan tentang moral (moral feeling), dan perbuatan bermoral (moral action).
Dimensi-dimensi yang termasuk dalam moral knowing yang akan mengisi ranah kognitif adalah kesadaran moral (moral awareness), pengetahuan tentang nilai-nilai moral (knowing moral values), penentuan sudut pandang (perspective taking), logika moral (moral reasoning), keberanian mengambil sikap (decision making), dan pengenalan diri (self knowledge). Moral feeling merupakan penguatan aspek emosi anak  untuk menjadi manusia berkarakter. Penguatan ini berkaitan dengan bentuk-bentuk sikap yang harus dirasakan oleh anak, yaitu kesadaran akan jati diri (conscience), percaya diri (self esteem), kepekaan terhadap derita orang lain (emphaty), cinta kebenaran (loving the good), pengendalian diri (self control), kerendahan hati (humility). Moral action merupakan perbuatan atau tindakan moral yang merupakan hasil (outcome) dari dua komponen karakter lainnya. Untuk memahami apa yang mendorong seseorang dalam perbuatan yang baik (act morally) maka harus dilihat tiga aspek lain dari karakter yaitu kompetensi (competence), keinginan (will), dan kebiasaan (habit).
Pengetahuan moral, keterampilan pemikiran moral, dan perasaan moral menurut Kirschenbaum (1995:28) merupakan perilaku-perilaku dan kegemaran-kegemaran lain yang merupakan kedewasaan moral. Perilaku dan kegemaran-kegemaran ini sebagai kecenderungan moral yang menimbulkan dorongan seseorang berperilaku sesuai dengan nilai yang dipahami sebagai nilai yang benar. Untuk memahami apa yang mendorong seseorang  berbuat baik (act morally) juga harus dilihat tiga aspek lain dari karakter, yaitu: kompetensi (competency), keinginan (will), dan kebiasaan (habit). Tanpa kemauan yang kuat, meski orang sudah tahu tentang tindakan yang harus dilakukan, ia tidak akan melakukannya
Membentuk karakter yang baik dan kepribadian yang utuh dalam diri  seorang anak dapat dilakukan melalui suatu proses pembudayaan. Proses pembudayaan dapat dilakukan dengan menumbuhkembangkan seseorang menjadi pribadi manusia yang berbudaya dan beradab, yang tercermin dari sistem nilai yang dianut oleh pribadi yang bersangkutan dan masyarakat. Pembudayaan itu salah satunya melalui pendidikan.
Pendidikan untuk menanamkan karakter pada anak dinamakan pendidikan karakter.  Buchori (2011) mengartikan pendidikan karakter sebagai bentuk pengendalian diri terhadap dua hal: pengendalian diri untuk melaksanakan apa yang menurut hati nurani harus dilaksanakan dan tak melaksanakan segala sesuatu yang menurut hati nurani tak boleh dilakukan. Dalam istilah agama, pengertian ini sejalan dengan takwa: menjalankan apa yang diperintahkan dan menjauhkan diri dari apa yang dilarang Tuhan. Dengan demikian, pendidikan karakter sebenarnya merupakan latihan takwa.
Uraian ini menandakan pendidikan karakter mempunyai makna lebih tinggi dibandingkan pendidikan moral. Pendidikan karakter  tidak hanya sekedar mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah. Yang lebih utama, pendidikan karakter menanamkan kebiasaan (habituation) tentang hal-hal yang baik, sehingga anak menjadi paham  tentang mana yang baik dan salah (domain kognitif), mampu merasakan nilai yang baik (domain afektif) dan mau melakukannya (domain psikomotor). Anak yang telah memperoleh pendidikan karakter seyogyanya juga akan tampil sebagai manusia yang konsisten dalam perilaku. Tidak mencla-mencle kata orang jawa. Ia tahu apa yang harus dipelajari dan tak perlu dipelajari. Ia juga tahu betul apa yang diinginkan dan yang tak dibutuhkan.
B.  Nilai-nilai Karakter
Uraian di bagian A menjelaskan secara detail karakter dan berbagai dimensi terkait. Namun, uraian belum menggambarkan secara jelas nilai-nilai karakter sehingga  dapat memberikan panduan untuk mengimplementasikannya dalam dunia pendidikan.  Kemendiknas (2010) mengidentifikasi 80 butir nilai-nilai karakter, dan ke-80 butir itu secara garis besar dihimpun ke dalam lima kelompok  (seperti disajikan Tabel 1). Kelima kelompok itu adalah nilai-nilai perilaku manusia terhadap Tuhan, nilai-nilai perilaku manusia terhadap diri sendiri, nilai-nilai perilaku manusia terhadap sesama manusia, nilai-nilai perilaku manusia terhadap lingkungan dan nilai-nilai kebangsaan.
Tabel 1
Taksonomi Nilai-nilai Karakter

No
Kategori
Nilai-nilai Karakter
1.
Nilai-nilai perilaku manusia terhadap Tuhan
Taat kepada Tuhan, syukur, ikhlas, sabar, tawakkal (berserah diri kepada Tuhan)
2.
Nilai-nilai perilaku manusia terhadap diri sendiri
Reflektif, percaya diri, rasional, logis, kritis, analistis, kreatif, inovatif, mandiri, hidup sehat, bertanggung jawab,  cinta ilmu, sabar, berhati-hati, rela berkorban, pemberani, dapat dipercaya, jujur, menepati janji, adil, rendah hati, malu berbuat salah, pemaaf, berhati lembut, setia, bekerja keras, tekun, ulet atau gigih, teliti, berinisiatif, berpikir positif, disiplin, antisipatif, inisiatif, visioner, bersahaja, bersemangat, dinamis, hemat, efisien, menghargai, dedikatif, pengendalian diri, produktif, ramah, cinta keindahan, sportif, tabah, terbuka, dan tertib.
3.
Nilai-nilai perilaku manusia terhadap sesama manusia
Taat peraturan,  toleran, peduli, kooperatif, demokratis, apresiatif, santun, bertanggung jawab, menghormati orang lain, menyayangi orang lain, pemurah (dermawan), mengajak berbuat baik, berbaik sangka, empati dan konstruktif
4.
Nilai-nilai perilaku manusia terhadap lingkungan
Peduli dan bertanggung jawab terhadap pelestarian, pemeliharaan dan pemanfaatan tumbuhan, binatang dan lingkungan alam sekitar
5.
Nilai-nilai kebangsaan
Cinta tanah air, cinta damai, tidak rasis, menjaga persatuan, memiliki semangat membela bangsa dan negara, berbahasa Indonesia dengan baik dan benar, bangga sebagai bangsa Indonesia, mencintai produk sendiri, mencintai seni sendiri, mencintai budaya sendiri, dan memiliki semangat berkontribusi kepada bangsa dan negara.

Dalam implementasi di lapangan, idealnya ke-80 butir nilai karakter tersebut dapat terinternalisasi secara utuh. Disadari bahwa memfasilitasi  semua nilai tersebut agar dapat terinternalisasi memang sangat berat. Oleh karena itu, guru dapat mengidentifikasi nilai-nilai pokok sebagai fokus internalisasi. Nilai-nilai yang dijadikan fokus tersebut dapat berupa nilai-nilai yang bersifat universal, sedangkan nilai-nilai lainnya dapat terinternalisasi secara otomatis sebagai dampak pengiring dari proses internalisasi nilai-nilai pokok tersebut.
Dalam struktur kurikulum, ada dua mata pelajaran yang terkait langsung dengan pengembangan karakter (khususnya budi pekerti dan akhlak mulia), yaitu pendidikan Agama dan PKn. Kedua mata pelajaran itu merupakan mata pelajaran yang secara langsung mengenalkan nilai-nilai, dan sampai taraf tertentu menjadikan peserta didik peduli dan menginternalisasi nilai-nilai. Pengintegrasian pendidikan karakter pada mata pelajaran lain (di luar pendidikan Agama dan PKn) lebih menekankan kepada penginternalisasian nilai-nilai melalui serangkaian kegiatan-kegiatan di dalam proses pembelajaran.  Tentu, hal itu  tanpa menafikan ada unsur-unsur pada mata pelajaran tertentu yang tanpa disadari mempengaruhi dalam pembentukan karakter anak, seperti dalam matematika. 
Berikut sebuah contoh nilai-nilai karakter yang dapat dikembangkan dari standar kompetensi lulusan (SKL) SMP/MTs. Subtansi nilai-nilai karakter yang mengacu SKL SMP/MTS tersebut diperlihatkan sebagaimana Tabel 2.
Tabel 2
Subtansi Nilai Karakter pada SKL SMP/MTS

No.
Rumusan SKL
Nilai-nilai Karakter
1.
Mengamalkan ajaran agama yang dianut sesuai dengan tahap perkembangan remaja
Iman dan taqwa
2.
Menunjukkan sikap percaya diri
Adil
3.
Mematuhi aturan-aturan sosial yang berlaku dalam lingkungan yang lebih luas
Disiplin
4.
Menghargai keberagaman agama, budaya, suku, ras, dan golongan sosial ekonomi dalam lingkungan nasional
Nasionalis
5.
Mencari dan menerapkan informasi dari lingkungan sekitar dan sumber-sumber lain secara logis, kritis, dan kreatif
Bernalar, kreatif
6.
Menunjukkan kemampuan berpikir logis, kritis, kreatif, dan inovatif
Bernalar,kreatif
7.
Menunjukkan kemampuan belajar secara mandiri sesuai dengan potensi yang dimilikinya
Gigih, tanggung jawab
8.
Menunjukkan kemampuan menganalisis dan
memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari
Bernalar
9.
Mendeskripsi gejala alam dan social
Terbuka, bernalar
10.
Memanfaatkan lingkungan secara bertanggung jawab
Tanggung jawab
11.
Menerapkan nilai-nilai kebersamaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara demi terwujudnya persatuan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia
Nasionalis, gotong ro-yong
12.
Menghargai karya seni dan budaya nasional
Peduli, nasionalis
13.
Menghargai tugas pekerjaan dan memiliki kemampuan untuk berkarya
Tanggung jawab, kreatif
14.
Menerapkan hidup bersih, sehat, bugar, aman, dan memanfaatkan waktu luang
Bersih dan sehat
15.
Berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan santun
Santun, bernalar
16.
Memahami hak dan kewajiban diri dan orang lain dalam pergaulan di masyarakat
Terbuka, tanggung jawab
17.
Menghargai adanya perbedaan pendapat
Terbuka, adil
18.
Menunjukkan kegemaran membaca dan menulis naskah pendek sederhana
Gigih, kreatif
19.
Menunjukkan keterampilan menyimak, berbicara, membaca, dan menulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris sederhana
Gigih, kreatif
20
Menguasai pengetahuan yang diperlukan untuk
mengikuti pendidikan menengah
Visioner, bernalar

C.    Nilai-nilai  Karakter  Pelajaran Matematika
Matematika terbentuk sebagai hasil pemikiran manusia yang berhubungan dengan ide, proses dan penalaran. Dengan bernalar, anak bisa  membedakan sesuatu yang baik dan buruk, bermanfaat atau tidak. Bahkan dengan bernalar, anak bisa mengambil tindakan dari permasalahan yang ada. Ada yang berpendapat hanya melaui kemampuan bernalar, karakter anak terbentuk.   “Benarkah kesimpulan ini?” Tentu jawabannya belum cukup. Kemampuan bernalar hanya menyentuh aspek pertama (moral knowing) dari tiga komponen karakter yang diuraikan sebelumnya.
Ada beberapa aspek dalam matematika bila diajarkan melalui perencanaan yang terarah, bimbingan yang ketat dari guru,  adanya keteladan guru, maka akan memberikan dampak terbentuknya nilai-nilai karakter pada diri anak. Soejadi (1999:129) berpendapat bahwa pelajaran matematika di sekolah dapat memberikan dampak material (akibat adanya penerapan matematika serta keterampilan matematika) dan formal (tertatanya nalar  serta terbentuknya karakter anak).  Keduanya akan bermuara pada terinternalisasinya nilai-nilai karakter  pada anak, seperti  sikap hemat, berpikir kritis, berpikir logis, berpikir inovatif, taat asas, jujur, gigih atau ulet, kreatif, teliti, tekun, dan berinisiatif.  Sebagian dari  nilai karakter di atas, akan diuraikan secara rinci  pada beberapa sub bagian berikut.

1.      Kesepakatan
Sadar ataupun tidak, seorang anak yang mempelajari  matematika telah menggunakan kesepakatan-kesepakatan tertentu. Kesepakatan-kesepakatan itu dapat berupa simbol atau  lambang, istilah atau konsep, definisi, serta aksioma. Sebagai contoh, lambang bilangan yang selama ini digunakan  seperti 1, 2, 3, dst merupakan lambang yang disepakati. Kesepakatan itu tanpa disadari telah tertanam sejak seorang anak belajar di kelas satu SD atau bahkan di TK. Bilangan yang dilambangkan dengan 2 disepakati dan disebut dengan “dua.” Mengapa? Itulah yang ternyata selalu digunakan hingga sekarang.
Bagaimana peran kesepakatan dalam pergaulan di masyarakat? Sadar ataupun tidak, dalam kehidupan sehari-hari terdapat banyak kesepakatan-kesepakatan, baik yang tertulis maupun  tidak tertulis. Apabila seseorang berperilaku tidak sesuai dengan kesepakatan tertentu dalam masyarakat, tentulah ia dianggap sebagai melanggar suatu aturan. Dengan demikian, seorang anak yang dibiasakan belajar matematika yang penuh dengan kesepakatan yang harus ditaati, kiranya akan mudah memahami perlunya kesepakatan dalam kehidupan masyarakat. Inilah salah satu aspek matematika yang memiliki peran pembentukan karakter anak pada aspek  taat peraturan, malu berbuat salah, dan jujur.

2.      Ketaatasasan
Yang dimaksud ketaatasaan atau konsistensi adalah tidak dibenarkannya muncul kontradiksi.  Bila pernyataan “Melalui satu titik P di luar garis a dapat dibuat tepat satu garis sejajar dengan a,” diterima sebagai hal yang benar, maka pernyataan “Jika garis a sejajar garis b dan garis p memotong garis a, maka garis p tidak memotong garis b,” harus dianggap salah.  Inilah salah satu contoh konsistensi dalam matematika.
Seorang anak yang terbiasa berpikir matematik, tidak terlalu sulit untuk memahami perlunya sikap konsisten dan tidak sulit melihat inkonsistensi yang terjadi dalam kehidupan. Bila sikap ini dipupuk dan dibiasakan pada anak selama belajar matematika, akan memberikan dampak bagi mereka bersikap jujur, menepati janji, dapat dipercaya, disiplin, dan tertib.

3.      Semesta
Dalam matematika, terdapat simbol-simbol atau lambang-lambang yang berbentuk variabel, seperti x, y, z dan sebagainya. Apa makna lambang tersebut? Terserah kepada si pemakai, akan diberi makna apa. Mungkin diberi makna bilangan atau yang lain, sesuai dengan kebutuhan pemakai. Hal itu menunjukkan adanya lingkup pembicaraan yang dapat juga disebut sebagai semesta pembicaraan.
Dalam matematika, disadari atau tidak terdapat banyak permasalahan yang amat memperhatikan semesta. Bila semesta tidak diperhatikan, maka sangat besar kemungkinan jawab yang diberikan akan salah. Perhatikan contoh berikut: “Tulislah lambang bilangan asli yang sesuai pada titik-titik, sehingga kalimat menjadi benar: 5 + 2 x …. = 10!” Kalau tidak disadari semestanya, maka tidak mustahil anak akan menjawab 2,5. Benarkah? Tentulah jawaban ini salah karena 2,5 bukan merupakan anggota dari semesta yang diminta yakni bilangan asli. Jawaban yang benar adalah tidak ada bilangan asli yang memenuhi persamaan yang dimaksudkan.
            Bagaimana penerapan keberadaan semesta dalam kehidupan sehari-hari? Tentulah tidak sulit, bahwa manusia di bumi ini diciptakan dalam kelompok-kelompok, menjadi berbangsa-bangsa, suku bangsa atau bahkan menjadi satuan organisasi. Dalam masing-masing kelompok tersebut, berlaku suatu aturan tertentu. Seseorang yang akan melakukan tindakan atau melontarkan kata-kata tertentu, perlu memperhatikan di mana dia berada atau di lingkup mana dia berada. Bila seseorang terbiasa dengan aturan matematika, maka mereka tidak sulit melakukan penyesuaian seperti halnya dampak yang diinginkan keterikatan semesta selama belajar matematika. Kemungkinan tidak terjadi peristiwa memalukan seperti yang terjadi pada konggres PSSI 20 Mei 2011 lalu, bila seluruh anggota konggres (termasuk pemegang suara) telah mempelajari matematika dengan benar. Bila statuta FIFA dianggap sebagai semestanya, maka semua akan tunduk dan mengikuti ketentuan yang digunakan untuk proses pemilihan pengurus PSSI.
Beberapa aspek atau unsur dalam matematika di atas, dalam proses belajar mengajar sering kali  tidak disadari secara penuh, dan kurang eksplisit. Sementara itu, tujuan dan manfaat pelajaran matematika tidak hanya aspek material (penerapan dan keterampilan) tetapi yang lebih penting adalah aspek formal. Aspek dan unsur penting itu, bila mendapat perhatian secara sungguh-sungguh dalam proses belajar mengajar akan semakin terasa adanya nilai-nilai karakter yang dapat dimunculkan.
E. Penutup
            Tulisan ini ingin penulis akhiri berupa ajakan  kepada seluruh guru/pengajar matematika,  agar memulai dari sekarang mengubah mindset dari pengajar ke pendidik. Dengan demikian, apa yang kita lakukan tidak semata-mata melakukan transfer ilmu kepada anak didik, akan tetapi bagaimana moral, sikap, dan perilaku anak didik kita juga diperhatikan. Dalam konteks demikian, perlu adanya  keikhlasan, dedikasi, dan pengabdian  yang tinggi.  Memang berat, tetapi tidak ada salahnya kalau dicoba, bila kita tidak ingin menyaksikan kehancuran generasi penerus kita kelak karena hancurnya morak dan akhlaknya.
D.    Referensi
Buchori, M. (2011). Pendidikan Watak. Kompas, 3 Mei 2011, hal. 5.
Elkind, D. H. & Sweet, F. How to do character education. Artikel diambil pada tanggal 11 April 2011 dari http://www.goodcharacter.com/Article-4.html.
Harta, I. (2010). Pengintegrasian pendidikan karakter dalam pembelajaran matematika SMP/MTs. Artikel diakses dari internet pada tanggal 14 April 2011.
Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas). (2010). Grand Desain Pendidikan Karakter.
Kompas, 20 Juni 2011. Kerusakan Moral Mencemaskan, hal. 1.
Kirschenbaum, H. (1995). Enhance values and moralityin schools and youth setting. Boston: Allyn & Bacon.
Lewis, B.A. (2004). Character building untuk remaja (Terjemahan Arvin Saputra dan Lyndon Saputra. Buku asli diterbitkan 1987). New York: Publishing  Group.
Lickona, T. (1996). Eleven principles of effective character education. Journal of Moral Education, 25, 93-100.
Norton, G. R. (1977). Parenting. Englewood Cliffs: Prentice Hall, Inc.
Pramodhawardani, J. (2011). Kejujuran itu Bernama Siami.  Kompas, 16 Juni 2011, hal. 5.
Strom, T. (2002). Celebrating the character building aspects of agricultural education in school and community. The Agricultural Education Magazine,  75, 6-12.
Soedjadi, R. (1999). Kiat pendidikan matematika di Indonesia: Konstatasi keadaan masa kini menuju harapan masa depan. Jakarta: Depdikbud. 
Sudarsono, J. (2008). Pendidikan, kemanusiaan dan peradaban. Dalam Soedijarto (Ed.). Landasan dan Arah Pendidikan Nasional Kita (pp. XVII-XXII). Jakarta: PT Kompas Media Nusantara.
Suparno. (2002). Pendidikan budi pekerti di sekolah: Suatu tinjauan umum. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Wening, S. (2010). Metode aktivitas evaluasi reflektif dan pembentukan karakter. Prosiding Seminar Nasional Himpunan Evaluasi Pendidikan Indonesia di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tanggal 29-30 Januari 2010.
Wening, S. (2007). Pembentukan karakter remaja awal melalui pendidikan nilai yang terkandung dalam pendidikan konsumen: Kajian evaluasi reflektif kurikulum SMP di Yogyakarta. Disertasi tidak  dipublikasikan. Yogyakarta: PPs Universitas Negeri Yogyakarta.
Wyne, E. A. (1991). Character and academics in the elementary school. Dalam J.S. Benninga (Ed.). Moral Character and Civic Eduation in The Elementary School. New York: Teachers College Press.
Wynne, E., & Walberg, H. Developing character: Transmitting knowledge. Diambil pada tanggal 9 April 2011 dari http://www.wilderdom.com/
character.html

Title Post: TRANSFORMASI NILAI-NILAI KARAKTER MELALUI PELAJARAN MATEMATIKA DI SEKOLAH
Rating: 100% based on 99998 ratings. 5 user reviews.
Author: Unknown

Terimakasih sudah berkunjung di blog-kusaeri, Jika ada kritik dan saran silahkan tinggalkan komentar

2 komentar:

Norhayati Gemar mengatakan...

terimakasih,karena telah membuka wawasan saya selaku guru matematika

A.A. Danie mengatakan...

Luar biasa menginspirasi. Izin untuk salin.

Posting Komentar