Dalam proses
pembelajaran, komunikasi menjadi kunci yang cukup penting
untuk mencapai tujuan pembelajaran. Apalagi dalam pembelajaran matematika yang
sering dianggap sulit bagi siswa. Seorang guru, betapapun pandai dan luas
pengetahuannya, bila tidak mampu mengkomunikasikan pikiran, pengetahuan, dan
wawasannya, tentu tidak akan mampu mentransformasi pengetahuannya kepada para
siswanya.
Gugusan pengetahuannya hanya menjadi kekayaan diri yang tidak tersalur kepada para siswanya (Naim, 2011:28). Oleh karena itu, komunikasi guru dalam pembelajaran matematika sangat penting artinya agar pesan yang ingin disampaikan dapat tepat sasaran.
Gugusan pengetahuannya hanya menjadi kekayaan diri yang tidak tersalur kepada para siswanya (Naim, 2011:28). Oleh karena itu, komunikasi guru dalam pembelajaran matematika sangat penting artinya agar pesan yang ingin disampaikan dapat tepat sasaran.
Agar pesan yang disampaikan tepat sasaran dan mencapai hasil optimal, menurut
Muhammad (2007:5-7) ada beberapa unsur penting dalam proses komunikasi, yakni komunikator
(sender), pesan (message), komunikan (receiver),
saluran (channel), dan umpan balik (feed back). Komunikator (sender)
merupakan pihak yang berperan sebagai pengantar pesan. Komunikator adalah orang yang mempunyai ide atau
informasi. Sebelum komunikator mengantar pesan, komunikator harus menentukan
arti pesan, sehingga pesan yang disampaikan dapat dipahami oleh orang yang
menerima pesan sesuai dengan yang dimaksudkannya. Sesuatu yang melekat pada seorang komunikator adalah,
(1) pengetahuan, ide dan pengalaman-pengalaman, (2) sikap, kepercayaan dan
nilai-nilai, (3) kebutuhan, keinginan dan tujuan-tujuan, (4) kepentingan (5) kelompok
dan pesan kelompok, dan (6) kemampuan berkomunikasi serta persepsi dari
elemen-elemen lainnya (Illyas, 2009:15).
Bila seseorang berkomunikasi dan
mereka telah mempunyai pengalaman hidup yang sama, maka mereka memiliki
kesempatan dapat berhubungan satu sama lain dengan cara yang efektif. Akan
tetapi, bila pengalaman peserta komunikasi itu berbeda, maka mereka menemukan
kesulitan dalam melakukan interaksi atau dalam memahami satu sama lain. Jadi,
proses komunikasi akan berlangsung baik jika antar sumber (komunikator) dan
penerima terdapat pertautan kesamaan minat dan kepentingan. Pertautan minat dan
kepentingan ini akan terjadi jika terdapat persamaan persepsi terhadap pesan
antara komunikator dan penerima pesan. Dalam proses pembelajaran, karena peran guru sebagai komunikator, maka ia harus
memiliki kemampuan menyampaikan pesan yang
benar, sehingga pesan dapat tersampaikan kepada siswa.
Penerima pesan (komunikan) dapat seseorang atau kelompok orang. Selain itu, itu dapat juga
organisasi atau institusi yang menjadi objek penerima pesan. Sekalipun penerima
merupakan individu yang menerima sesuatu pesan, tidaklah berarti sebagai
penerima yang pasif. Penerima pesan (komunikan) harus aktif menarik pesan dan
memberikan pengertian serta memberi interpretasi. Dalam berlangsungnya proses komunikasi,
penerima membawa pengalamannya, prasangka, kebutuhan, kemauan serta
keinginan-keinginannya. Variabel-variabel
ini turut berpengaruh serta membantu penerima pesan dalam menentukan
pengertian pesan yang ada atau digunakan, serta respon-respon yang dilakukannya
terhadap pesan yang diterimanya. Dalam berbagai situasi, penerima memberikan
rangsangan yang mendasar terhadap sumber pesan (komunikator) melalui proses
tanggapan balik.
Pesan (message) adalah informasi yang
akan disampaikan oleh komunikator. Pesan merupakan isi
dari suatu tindakan komunikatif. Pesan dapat berbentuk verbal atau non verbal dan pesan akan efektif bila
diorganisir secara baik dan jelas (Mulyana, 2005:5). Pesan verbal dapat secara
tertulis dan secara lisan. Pesan non verbal dapat berupa mimik atau gerakan
anggota tubuh seperti anggukan kepala (isyarat setuju), menggeleng kepala
(isyarat menolak), melambaikan tangan (isyarat selamat jalan) dan sebagainya
(Muhammad, 2007:17-18). Suatu pesan mempunyai inti pesan yang sebenarnya menjadi
pengarah dalam usaha guru mengubah sikap dan tingkah laku siswa sebagai
komunikan. Pesan dapat disampaikan secara panjang lebar yang mengupas berbagai
segi, namun inti pesan dari komunikasi akan selalu mengarah kepada tujuan akhir
dari proses komunikasi itu sendiri.
Saluran (channel)
adalah jalan atau alat yang dilalui pesan dari komunikator dengan komunikan
(Muhammad, 2007:18). Alat penyampaian pesan, bisa disebut dengan media.
Andersen mengatakan the channel is the
medium in which the message exist. Saluran dapat berbentuk fisik atau
hal-hal yang dapat mempengaruhi mekanisme penginderaan penerima pesan
(komunikan) (http://jurusankomunikasi.
blogspot.com/2009/05/proses-komunikasi.html). Segala sesuatu yang dapat
mempengaruhi indera penglihatan, penciuman, pendengaran, perabaan serta
perasaan dapat berfungsi sebagai medium komunikasi. Contohnya, ketika guru
menyampaikan materi pelajaran tidak secara langsung mengkomunikasikan dengan
kata-kata tetapi dengan multimedia yang berkembang saat ini seperti, visual room, OHP/OHT (overhead projec/overhead transparency)
dan masih banyak yang lainnya.
Umpan balik (feedback) merupakan
tanggapan atas pesan yang dikirimkan oleh komunikan. Tujuannya adalah untuk
mengecek apakah komunikan mengerti atau memahami pesan yang dimaksud komunikator. Dengan diberikannya tanggapan ke
pengirim, pengirim akan dapat mengetahui pesan yang diinterpretasikan sama
dengan yang dimaksudkan pengirim. Bila arti pesan yang dimaksudkan oleh
pengirim diinterpretasikan sama oleh si penerima berarti komunikasi tersebut
efektif (Muhammad, 2007:18).
Keberadaan kelima unsur komunikasi tersebut
dalam proses komunikasi sejalan dengan pemikiran para ahli psikologi beraliran
konstruktivisme. Asumsi konstruktivis dalam berkomunikasi adalah seseorang menciptakan dan
memahami pesan yang dihasilkan dan didengar dalam percakapan didasarkan pada
konstruk yang dikembangkan. Artinya, konstruk selanjutnya didapat melalui interaksi
sosial, sehingga memungkinkan untuk membuat dan memodifikasi interpretasi
seseorang tentang dunia sosial. Komunikasi hanyalah satu bentuk strategi
interaksi sosial.
Komunikasi dalam matematika merupakan hal yang penting, karena menciptakan
kesempatan pembelajaran yang tidak ditemukan dalam kelas tradisional baik untuk
siswa dan guru. Dalam seting ini, guru memiliki kesempatan untuk mempelajari
proses konstruksi siswa berkaitan dengan pemahamannya terhadap matematika.
Peran utama guru matematika adalah menciptakan kelas sehingga semua siswa dapat
mengkomunikasikan pikiran dan tindakannya terkait matematika.
Seorang guru matematika yang konstruktivis akan mampu
menyusun pesan-pesan retorik yang logis dan dapat menciptakan pesan-pesan yang
berfokus kepada siswanya. Sebagai sebuah teori, konstruktivisme berkaitan
dengan proses kognitif seseorang yang melakukan komunikasi pada situasi
tertentu (Grant, 2009:5). Teori ini menempatkan siswa sebagai seorang yang
mampu memahami makna pelajaran matematika menurut dunianya sendiri, dengan
menempatkan matematika sebagai hal yang menyenangkan sehingga dapat menambah
motivasi siswa dalam belajar matematika.
Para ahli konstruktivis komunikasi mencoba
mengidentifikasi sifat-sifat seseorang, bagaimana mereka menghubungkan dengan
beragam pesan, pengaruh situasi pesan
dan proses aktual yang menghasilkan pesan. Komunikasi bersifat sosial, namun
sesuatu yang terjadi disaring dan dibangun melalui pikiran yang terpisah dari
seseorang yang terlibat. O’Keefe (Littlejohn
& Foss, 2009:188-189) mengemukakan Message
Design Logic Theory (teori logika desain pesan) dan menemukan bahwa
setidaknya terdapat tiga logika desain pesan yang sangat berbeda dan digunakan
oleh seseorang. Logika desain pesan merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan
alasan implisit tentang komunikasi. Ketiganya adalah logika desain ekspresif,
konvensional, dan retorikal.
Logika
desain pesan ekspresif memandang bahwa komunikasi merupakan proses bagi
individu untuk mengungkapkan dan menerima pikiran dan perasaannya. Logika ini
berasumsi bahwa setiap orang menghasilkan jenis pesan dengan cara yang sama.
Komunikator jenis ekspresif percaya bahwa penerima pesan akan memahami
ucapannya sepanjang dia berkata secara terbuka, langsung dan jelas. Komunikasi
biasanya diorganisir karena reaksi atas kejadian dan pikiran sebelumnya. Pesan
cenderung sebagai reaksi terhadap keadaan saat itu. Artinya pesan ini tidak
membedakan antara isu-isu yang secara objektif relevan dan hal ini hanyalah
relevan secara subjektif.
Pada
logika desain konvensional, komunikator melihat komunikasi sebagai suatu
permainan bersama yang dimainkan menggunakan aturan-aturan prosedur
konvensional. Pesan diorganisir untuk tujuan mendapatkan respon khusus dari
seseorang yang menerima pesan. Jadi, setiap orang diharapkan untuk memainkan
“permainan” melalui mendengar konteks komunikasi dan menarik kesimpulan apa
yang dimaksud penyampai pesan. Penyampai pesan pada jenis desain pesan ini
menggunakan aksi yang dianggap sebagai cara yang tepat bagi penerima pesan.
Sayangnya, pesan jenis ini akan koheren dan bermakna bilamana semua kelompok
yang terlibat mengikuti aturan dan norma yang sama terkait konteks. Komunikasi
dinilai berhasil ketika individu yang terlibat menunjukkan reaksi dengan tepat.
Selanjutnya,
teori logika desain pesan retorika berasumsi bahwa komunikasi merupakan kreasi
dan negosiasi dari situasi dan sosial sendiri. Seseorang yang menggunakan
desain pesan ini menyadari bahwa makna dari pesannya tidak tetap, tetapi bagian
dari realitas sosial yang harus diciptakan. Pesan yang diungkapkan secara
eksplisit didesain untuk mencapai tujuan dibandingkan hanya sekedar merespon
situasi. Komunikator jenis ini akan berbeda penggunaan gaya bahasanya untuk
mendefinisikan realitas simbolis penyampai pesan sehingga penerima pesan dapat
membuat suatu interpretasi yang dapat diterima dan menjadi termotivasi agar
memberikan suatu respon yang dapat diterima. Kesuksesan berkomunikasi ditandai
dengan komunikasi yang halus dan koheren.
Berdasarkan uraian di atas, maka setiap guru matematika tentu memiliki
kecenderungan tersendiri selama berkomunikasi dalam pembelajaran, apakah dalam
kategori ekspresif, konvensional, retorikal atau kombinasi dari ketiganya.
Lebih lanjut, bila ditelusuri, ada banyak faktor yang turut berkonstribusi
terhadap pemilihan logika desain pesan yang dilakukan oleh
seorang guru dalam menyampaikan pelajaran, seperti pengalaman kerja,
latar belakang pendidikan, jumlah (populasi) siswa dalam kelas, maupun jenis
kelamin guru.
Pengalaman yang dimiliki
oleh seorang guru matematika akan memberikan dasar kepada guru dalam melakukan
kegiatan pembelajaran. Pengalaman mengajar dalam waktu
yang lama secara teoritis tentu akan mampu menciptakan komunikasi yang lebih
baik dibandingkan dengan pengalaman mengajar dalam waktu yang relatif sedikit
(Naim, 2011:9). Seorang
guru yang memiliki pengalaman lama,
tidak berusaha mendorong siswanya mempelajari sesuatu di luar kemampuannya. Ia
tidak akan memompakan konsep atau hal-hal terkait matematika ke otak anak yang tidak sesuai dengan kematangannya atau
tidak sejalan dengan pengalamannya yang lalu (Daradjat, 2005:15).
Latar belakang pendidikan seorang
guru juga memberikan kontribusi terhadap kualitas dan kemampuan guru dalam menyampaikan
pesan ke siswa. Perbedaan latar belakang pendidikan guru, didasarkan pada jenis
dan perjenjangan dalam pendidikan. Pendidikan guru merupakan pendidikan yang
ditempuh oleh seorang guru agar memiliki kualifikasi dan kompetensi yang
memadai sesuai dengan tugas profesinya (Hamalik, 2008:122). Hal ini bertujuan
untuk membentuk sikap dan tingkah laku seorang guru di dalam proses
pembelajaran.
Populasi siswa di dalam suatu kelas diduga
juga dapat mempengaruhi proses pembelajaran yang berlangsung. Apabila populasi
siswa sebagai komunikan sangat banyak, maka akan sukar dijangkau secara
perorangan oleh guru sebagai komunikator pembelajaran (Hamalik, 2008:206).
Populasi siswa yang terlalu banyak dapat pula mempengaruhi lemahnya kemampuan
guru dalam menyampaikan pesan, sehingga pesan yang disampaikan tidak jelas
diterima oleh para siswa.
Oleh karena itu, guru yang mengajar dengan populasi siswa yang lebih
sedikit akan memiliki gaya komunikasi yang lebih baik dibandingkan dengan guru
yang mengajar dengan populasi siswa yang lebih lebih banyak. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Forrest (2008:14) menunjukkan
bahwa gaya komunikasi guru dalam menyampaikan pesan (materi pelajaran)
bergantung pada populasi siswa di dalam kelas.
Berdasarkan
paparan di atas, penting dilakukan penelitian tentang gaya komunikasi guru
matematika, yang dilihat dari berbagai aspek seperti pengalaman mengajar, latar
belakang pendidikan guru, dan populasi siswa dalam satu kelas. Gaya komunikasi
dalam penelitian ini mengacu dan difokuskan pada teori logika
desain pesan (Message Design Logic
Theory) yang dikemukakan oleh O’Keefe. Masalah yang diteliti dirumuskan:
“Apakah pemilihan logika desain pesan yang dilakukan guru matematika SMP/MTs
terkait dengan pengalaman
mengajar, latar belakang pendidikan guru, dan populasi siswa dalam satu kelas?”
Dengan demikian, tujuan penelitian ini adalah untuk
menginvestigasi keterkaitan pemilihan logika desain pesan yang dilakukan guru
matematika SMP/MTs dengan
pengalaman mengajar, latar belakang pendidikan guru, dan populasi siswa dalam
satu kelas.
Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian survei (Sugiyono, 2011) yang memfokuskan pada proses investigasi
keterkaitan antara penyampaian pesan yang dilakukan oleh guru kepada siswanya
dengan pengalaman mengajar, latar belakang pendidikan dan populasi siswa dalam
satu kelas. Penelitian ini juga didesain
untuk mengungkap pola pikir guru matematika SMP dan MTs ketika mereka
mengkonstruksi pesan verbal kepada para siswanya. Istilah yang digunakan untuk
mendeskripsikan pola pikir guru matematika tersebut dinamakan suatu logika
desain pesan. Harapannya, akan memberikan perspektif yang baru pada kesalahan
pemahaman antara apa yang ditulis pada teori-teori komunikasi dan apa yang
sebenarnya dilakukan guru di lapangan.
Subjek
penelitian ini dipilih secara purposif
sampling dari guru matematika SMP dan MTs yang ada di Kota Surabaya dan
Kabupaten Sidoarjo. Dengan menggunakan metode purposif sampling ini
memungkinkan digali data yang sebanyak-banyaknya dengan cara yang
efisien. Dengan cara ini didapatkan 8 guru yang mengajar di SMP Negeri 2 Sukodono Sidoarjo, SMP Budi Sejati Surabaya,
MTs Negeri Krian Sidoarjo, dan MTs Jabal Nur Sepanjang Sidoarjo. Penelitian ini
dilaksanakan pada semester gasal tahun 2011-2012.
Data dikumpulkan melalui berbagai cara: pengamatan
berpartisipasi, wawancara, dokumentasi, dan bantuan alat-alat audio visual. Pengamatan
berpartisipasi dilakukan dengan jalan melibatkan 4 (empat) orang mahasiswa
Jurusan Pendidikan Matematika terjun langsung ke lapangan untuk mengamati dan
mengumpulkan data di kelas. Pengamatan
mencakup semua fenomena yang teramati berupa deskripsi gaya masing-masing guru
dalam menyampaikan pesan ke siswanya. Agar pengamatan terarah, digunakan lembar
pengamatan yang telah disiapkan.
Kegiatan wawancara dilakukan secara bebas terkontrol.
Artinya, wawancara dilakukan secara bebas sehingga diperoleh data yang luas dan
mendalam. Dengan wawancara seperti ini, diharapkan dapat memberikan
prinsip-prinsip komparabilitas dan reliabilitas secara langsung sehingga
mengarah pada persoalan yang diteliti. Walaupun dalam wawancara ini diperlukan pedoman wawancara, namun dalam
pelaksanaannya wawancara dibuat bervariasi dan disesuaikan dengan situasi yang
ada sehingga kelihatan luwes. Hal ini penting dilakukan karena untuk menjaga
hubungan baik antara pewawancara dengan yang diwawancarai. Wawancara dalam
penelitian ini ditekankan pada alasan-alasan dasar dan tujuan guru memilih logika desain tertentu
serta bagaimana guru mengevaluasi keberhasilan logika desain yang dipilih.
Dokumentasi digunakan untuk
menggali data yang berkaitan dengan latar belakang pendidikan dan masa kerja
guru. Kedua jenis data ini diperoleh dari bagian tata usaha masing-masing
sekolah. Pengumpulan
data dengan alat-alat elektronik (seperti mobile
phone dan tape recorder) juga sangat dimungkinkan karena semua guru
matematika SMP/MTs sudah memiliki fasilitas telepon seluler (mobile phone)
yang dapat digunakan sebagai alat komunikasi dalam penentuan waktu wawancara. Dengan bantuan alat-alat elektronik tersebut, proses
pengumpulan data penelitian dapat dilakukan dengan mudah. Tape recorder
juga digunakan untuk merekam selama kegiatan wawancara.
Instrumen yang digunakan dalam penelitian di antaranya: lembar
pengamatan, pedoman wawancara, dan lembar ceklist.
Lembar pengamatan ini diadaptasi dari Grant (2009),yang berisi enam
karakteristik yang membedakan ketiga logika desain pesan. Keenam karakteristik
itu adalah: gaya berkomunikasi, cara mengorganisir pesan, konteks pesan, cara
merespon, fokus pada penerima pesan, dan kriteria keberhasilan dalam
menyampaikan pesan. Pedoman wawancara
dirancang sendiri oleh peneliti dengan memperhatikan aspek-aspek: penggunaan gaya
tertentu oleh guru selama interaksi
dalam pembelajaran dan penelusuran latar belakang guru. Ceklist berisi sejumlah daftar pernyataan terkait dengan latar belakang pendidikan guru, masa kerja
guru, dan jumlah anak dalam kelas. Ceklist
ini juga dikembangkan sendiri oleh peneliti, digunakan untuk merangkum
dokumen yang diberikan oleh masing-masing sekolah.
Analisis data dilakukan dengan berbagai cara berikut. Analisis
data hasil wawancara, dilakukan dengan menggunakan model interaktif yang
dimulai dari pengumpulan data, reduksi data, penyajian data dan pengambilan
kesimpulan (verifikasi). Selanjutnya, masing-masing tahap dalam analisis
data hasil wawancara dijelaskan sebagai
berikut. Pertama, pada pengumpulan data, data dari lapangan yang dikumpulkan
melalui proses wawancara dan pengamatan berpartisipasi, selanjutnya disusun
dalam suatu catatan lapangan sebagai langkah awal dalam analisis data.
Kedua, reduksi
data. Melalui proses reduksi data, laporan mentah yang diperoleh di lapangan
disusun menjadi lebih sistematis, sehingga mudah dikendalikan. Data yang telah
direduksi akan memberikan gambaran yang tajam tentang hasil penelitian,
membantu dalam memberikan kode pada aspek-aspek tertentu yang menjadi fokus
penelitian.
Ketiga, penyajian
data. Data dalam penelitian ini disajikan dalam bentuk naratif. Dengan semakin
banyaknya data yang diperoleh, agar tidak kesulitan dalam penyampaian informasi baik secara keseluruhan atau
bagian-bagian tertentu, maka dalam penyajiannya dibuat rangkuman, dan teks
naratif untuk memudahkan penyajian informasi data tersebut. Hal ini dilakukan
karena data yang terpencar-pencar dan kurang tersusun dengan baik dapat
mempengaruhi peneliti dalam bertindak dan mengambil kesimpulan yang memihak,
tersekat-sekat dan tidak mendasar.
Keempat, menarik
kesimpulan. Kesimpulan diambil dari penyajian data yang telah dilakukan
sehingga sejak awal penelitian diupayakan untuk mencari makna data yang telah
dikumpulkan. Untuk itu, dicari pola,
tema, persamaan, perbandingan, dan hal-hal yang sering timbul. Kesimpulan
penelitian tentang topik ini akan lebih
mengakar dan kokoh groundednya seiring dengan bertambahnya informasi
dari hasil wawancara, pengamatan, studi dokumentasi selama penelitian
berlangsung.
Untuk
data yang diperoleh dari hasil observasi guru di kelas, selanjutnya dicek pada
kolom manakah yang paling banyak terdapat tanda ceklist: apakah pada
kolom ekspresif, konvensional ataukah retorika. Kolom yang paling banyak
terdapat tanda ceklist berarti bahwa gaya itulah yang cenderung dilakukan
oleh guru. Setelah diketahui gaya guru berdasarkan hasil diobservasi, kemudian
dideskripsikan gaya komunikasinya.
Hasil Penelitian dan Pembahasan
Berikut dideskripsikan gaya komunikasi masing-masing guru
dengan memperhatikan latar belakang pendidikan, pengalaman mengajar dan
populasi siswa dalam satu kelas. Misalkan Pak AA
menggunakan bahasa yang luwes, lembut, dan menarik siswa. Hal ini ditandai
dengan selingan kata-kata yang memakai bahasa Jawa dan bahasa Inggris. Dalam
proses pembelajaran, cara menyampaikan pesan yang digunakan juga sangat
fleksibel dan benar-benar terpusat pada siswanya. Hal tersebut terlihat ketika AA mengambil
pengertian suatu materi dari berbagai pendapat siswa. Hal
ini sesuai dengan teori yang ada dalam logika retorika yaitu “Pesan-pesan
yang disusun dalam logika ini cenderung lembut, luwes, berwawasan dan terpusat
kepada komunikannya.” AA
memberikan feed-back kepada siswanya sehingga terjadi komunikasi
multiarah.
Dalam menyampaikan materi AA tidak terpaku pada buku dan
hanya berkomunikasi sesuai kebutuhan siswanya sampai siswa benar-benar paham
dan mengingatkan kepada materi yang lalu supaya siswa menemukan sendiri dan
benar-benar paham. Ini sesuai dengan teori retorika yakni “Orang yang menggunakan logika ini berasumsi
bahwa pesan yang disampaikan ditekankan untuk mencapai tujuannya bukan sekedar
hanya terjadinya respon atau timbal balik saja.” Berdasarkan
analisis di atas dan berdasarkan banyak tanda cek list dalam lembar observasi,
gaya komunkasi yang dilakukan AA termasuk dalam kategori logika desain pesan retorika.
Dilihat dari pengalaman mengajar, Pak
AA telah mengajar selama 34
tahun, yaitu mulai 1977. Setelah lulus SMA pak AA bekerja di perusahaan kikir
Gedangan untuk membiayai kuliahnya. Selain bekerja di perusahaan, ia juga mempunyai profesi
sebagai pembawa acara pernikahan dengan adat Jawa. Bakat sebagai pembawa acara
itu muncul karena ia
mempunyai rasa percaya diri tinggi dan sering mengikuti organisasi-organisasi
dalam masyarakat. Pendidikan
terakhir yang ditempuh oleh pak AA adalah S1 pendidikan matematika di UNITOMO.
Adapun jumlah siswa yang di ajar oleh Pak AA ada 35 siswa yang terdiri dari siswa putra
dan putri.
Sementara itu, bu SR menggunakan gaya komunikasi logika
retorika karena SR melakukan negosiasi kepada siswanya yang ditunjukkan oleh
cuplikan berikut. “Jika melanjutkan materi maka perhatikan dan ikuti
pelajaran dengan tertib!.” Hal ini sesuai dengan teori retorika yang memandang komunikasi sebagai suatu cara untuk
mengubah aturan melalui negosiasi.
Cara yang dilakukan SR dalam menyampaikan materi dengan memperhatikan isi buku
dan mengomunikasikan lebih sederhana sesuai dengan kebutuhan siswa. Hal ini
sesuai dengan teori logika retorika bahwa pesan-pesan yang disusun
dalam logika ini cenderung lembut, luwes, berwawasan, dan terpusat kepada
komunikannya. Aksi SR
berkeliling pada setiap siswa untuk menjelaskan kepada mereka yang
belum paham, ini sesuai dengan teori logika retorika. Hal ini sesuai dengan
pandangan logika desain pesan ini yang menyatakan bahwa “Orang yang
menggunakan logika ini berasumsi bahwa pesan yang disampaikan ditekankan untuk
mencapai tujuannya bukan sekadar hanya terjadinya respon atau timbal balik
saja.”
Bu
SR memiliki pengalaman mengajar selama 22 tahun yaitu mulai tahun 1989.
Pendidikan terakhir yang ditempuh oleh bu SR adalah S1 pendidikan matematika di
UNMUH Surabaya. Adapun jumlah siswa
yang di ajar oleh bu SR berjumlah 36 siswa, yang terdiri dari siswa putra dan
putri.
Guru berinisial SD dalam memberikan pelajaran
tidak hanya menekankan terjadinya timbal balik antar siswa-guru, namun
ditekankan bagaimana siswa agar benar-benar memahami dengan materi itu. Ini
terlihat ketika SD membolak-balik pertanyaan hingga siswa tidak bingung dan
bisa menjawab dengan benar. Hal itu sesuai dengan teori logika retorika yang
menyatakan bahwa ”Orang yang menggunakan logika ini berasumsi bahwa pesan yang
disampaikan ditekankan untuk mencapai tujuannya bukan sekedar hanya terjadinya
respon atau timbal balik saja.” Berdasarkan
analisis di atas dan banyak tanda checklist pada hasil lembar observasi,
maka gaya komunikasi bu SD dapat
dikategorikan ke dalam logika retorika.
Bu
SD memiliki pengalaman mengajar selama
18 tahun, yaitu mengajar sejak tahun
1993. Untuk membiayai kuliahnya,
bu SD pernah bekerja di sebuah
restauran dan juga menjadi guru privat. Setelah lulus kuliah, bu SD mendapatkan
tawaran mengajar di sekolah tempat mengabdi sekarang, dan ia diangkat menjadi
pegawai negeri di SMP Negeri 29 Surabaya sejak tahun 2007. Namun, atas permintaan kepala
SMP Budi Sejati Surabaya,
selain mengajar
di
SMP Negeri 29 Surabaya
ia juga tetap mengajar di
SMP
Budi Sejati Surabaya.
Pendidikan terakhir yang ditempuh oleh bu SD
adalah S1 pendidikan matematika di UNITOMO.
Untuk guru berinisial SL, ketika
berkomunikasi ia sering memberikan motivasi kepada siswanya dan sering bercanda sehingga suasana kelas tidak
menegangkan. Hal ini sesuai dengan tujuan dari logika konvensional, yakni untuk
menciptakan komunikasi yang sopan dan pantas. Berdasarkan deskripsi di atas dan observasi di lapangan, maka SL dalam
mengkomunikasikan materi tergolong dalam logika konvensional.
Pak
SL memiliki pengalaman mengajar selama 25 tahun, yaitu mulai tahun 1986.
Sebelum mengajar di SMP Budi Sejati Surabaya, pak SL sudah mengajar di MI Sepanjang,
selama 19 tahun 8 bulan dan di SMP PGRI 44 Surabaya sejak tahun 2000 sampai
2005. Pendidikan terakhir yang ditempuh oleh pak SL adalah S1 pendidikan
matematika di IKIP PGRI Surabaya. Sebelum memutuskan untuk menimbah ilmu di
IKIP PGRI, pak SL kuliah di UNIBRAW mengambil jurusan teknik sipil, namun karena
tidak ada biaya akhirnya pak SL memutuskan untuk berhenti kuliah. Kemudian pak
SL memutuskan untuk kuliah lagi di IKIP Malang,mengambil jurusan fisika, namun
karena terbentur masalah biaya lagi jadi pak SL memutuskan untuk berhenti
kuliah. Adapun jumlah siswa yang di ajar oleh pak SL berjumlah 34 siswa, yang terdiri
dari siswa putra dan putri.
Guru CC menyampaikan materi dengan spontan dan siswa
hanya mendengarkan. Hal ini sesuai dengan teori logika ekspresif yang
menyatakan bahwa logika yang memandang komunikasi sebagai cara
untuk berekspresi serta untuk menyatakan perasaan dan pikiran sendiri (Morrisan
& Wardhany, 2009:119). Kemudian, ketika CC jarang menanggapi respon siswa,
ini sesuai pernyataan yang ada dalam
logika ekspresif bahwa
guru yang ekspresif tidak menghiraukan apa
yang diinginkan siswa, guru hanya menjelaskan secara spontan mengenai
konsep-konsep yang dimilikinya. Setelah itu, CC meminta siswa mengerjakan soal
di papan tulis. Berdasarkan analisis di atas, gaya komunikasi CC yang digunakan
termasuk logika ekspresif.
Bu
CC memiliki pengalaman mengajar selama 4 tahun, yaitu mulai tahun 2007.
Pendidikan terakhir yang ditempuh adalah S1 pendidikan matematika di Universitas Wijaya Kusuma Surabaya. Peneliti tidak
mewawancarai bu CC tentang pengalamannya lebih mendalam dikarenakan terbatasnya
waktu pelajaran dengan jam pulang sekolah dan kegiatan siraman rohani untuk
guru pada bulan Ramadhan. Adapun jumlah siswa yang di ajar oleh bu CC berjumlah
36 siswa.
Gaya komunikasi yang dilakukan AH tergolong logika
retorika. Hal ini ditunjukkan pada saat
membuat aturan yang berupa pemindahan tempat duduk yang bertujuan untuk
memberikan perhatian lebih terhadap siswa-siswa yang kurang memahami materi,
dan cara menarik kesimpulan diambil dari semua jawaban siswa-siswa yang
ditanyai. Hal ini sesuai dengan logika retorika yang menyatakan logika retorika memandang bahwa komunikasi sebagai suatu
cara untuk mengubah aturan melalui negoisasi (Forrest, 2008:34).
Selain itu dapat ditunjukkan pula pada saat
AH melontarkan pertanyaan secara mendadak ketika ada siswa yang tidak
konsentrasi. AH berusaha menarik perhatian siswa dengan cara tiba-tiba
berbicara lantang dan lucu sambil memukul meja. Kondisi ini sejalan dengan logika retorika yang
menyatakan bahwa pesan-pesan yang disusun dalam logika ini cenderung lembut,
luwes, berwawasan dan terpusat kepada komunikannya. AH sangat memperhatikan
siswanya karena AH memberikan contoh soal yang bervariasi agar siswa
benar-benar memahami materi dalam bentuk soal apapun. Dari paparan di atas dan
berdasarkan tanda checklist pada lembar observasi, gaya komunikasi yang di lakukan AH maka AH termasuk dalam kriteria logika desain
pesan retorika.
Pak
AH memiliki pengalaman mengajar selama 6 tahun, yaitu mulai tahun 2005. Pak
AH mengajar di SMP Bhayangkari sejak ia berada pada semester
4 kuliah di Universitas Negeri Surabaya (UNESA).
Pada tahun 2005 ia diangkat menjadi
pegawai negeri di MTsNegeri Krian. Pendidikan terakhir
yang ditempuh oleh pak AH adalah S1 pendidikan matematika di UNESA. Adapun
jumlah siswa yang di ajar oleh pak AH berjumlah 37 siswa.
Guru berinisial LK mengawali pelajaran dengan menjelaskan
materi, dan menerangkan secara langsung. Hal ini sesuai dengan teori logika ekspresif yang menyatakan
bahwa logika ini memandang komunikasi sebagai cara untuk
berekspresi serta untuk menyatakan perasaan dan pikiran sendiri. Cara penyampaian
materi dengan mengambil kesimpulan dari siswa. Kemudian, ketika LK meminta siswanya untuk
merangkum materi, sehingga siswa mencari sendiri pengetahuannya. Hal ini
menunjukkan bahwa LK sangat terpusat pada siswa. Berdasarkan análisis ini dan banyak tanda checklist
pada hasil lembar observasi, dapat diketahui bahwa LK cenderung dikategorikan
logika retorika.
Bu
LK memiliki pengalaman mengajar selama 12 tahun, yaitu mulai tahun 1999. Bu LK
sudah mengajar di sekolah yang sekarang mulai beliau duduk disemester 5 dan
sampai sekarang, jadi kalau dihitung masa kerja beliau sudah 12 tahun. Pendidikan terakhir
yang ditempuh oleh bu LK adalah S1 pendidikan matematika di IKIP Surabaya. Adapun populasi siswa yang diajar oleh
bu LK berjumlah 30 siswa.
Selanjutnya,
komunikasi yang terjalin antara RD dan siswa sangat minimal sekali. Hal ini
sesuai dengan teori logika ekspresif yang menyatakan yaitu logika yang memandang komunikasi
sebagai cara untuk berekspresi serta untuk menyatakan perasaan dan pikiran.
Logika ekspresif ini bersifat terbuka dan reaktif dengan hanya memberikan
perhatian yang sedikit pada orang lain, sehingga hanya terjadi interaksi satu arah. Berdasarkan analisis
dan banyak tanda checklist pada lembar observasi, gaya komunikasi RD
untuk memudahkan siswa menerima materi tergolong logika ekspresif.
Bu RD memiliki
pengalaman mengajar selama 12 tahun, yaitu mulai tahun 1999. Bu RD mengajar di
Madrasah Kauman selama 9 tahun, kemudian mengajar di MTs Jabal Noer
sejak 3 tahun yang lalu. Pendidikan terakhir yang ditempuh
oleh bu RD adalah S1 pendidikan matematika di IKIP PGRI Surabaya. Adapun jumlah siswa
yang di ajar oleh bu RD berjumlah 32 siswa.
Deskripsi
data di atas, bila dirangkum dapat diklasifikasikan ke dalam tiga kelompok.
Hasil rangkuman itu disajikan secara berturut-turut pada Tabel 1 sampai dengan
Tabel 3. Tabel 1 memuat rangkuman keterkaitan antara pengalaman kerja guru dan
pemilihan logika desain pesan, Tabel 2 memuat rangkuman tentang keterkaitan
latar belakang pendidikan
guru dengan pemilihan logika desain pesan, dan Tabel
3 hubungan
antara populasi siswa dalam satu kelas dengan
pemilihan logika desain pesan.
Tabel 1
Hubungan
antara Pengalaman Kerja Guru dengan Pemilihan Logika desain pesan
No.
|
Kriteria Masa Kerja
|
Logika Desain Pesan
|
||
Ekspresif
|
Konvensional
|
Retorikal
|
||
1.
|
Kurang
dari 6 tahun
|
1 guru
|
||
2.
|
Antara
6 sampai 20 tahun
|
1 guru
|
1 guru
|
2 guru
|
3.
|
Antara
20 sampai 28 tahun
|
2 guru
|
||
4.
|
Lebih
dari 28 tahun
|
1 guru
|
Berdasarkan Tabel 1 guru yang memiliki pengalaman kerja tinggi tidak
menjamin dapat menciptakan komunikasi yang baik dibandingkan dengan guru yang
memiliki pengalaman kerja yang relatif rendah. Sebagai bukti, pak AH mampu
menciptakan gaya komunikasi yang baik yaitu gaya komunikasi retorikal walaupun
masa kerjanya hanya berkisar 6 tahun. Oleh karena itu, pengalaman mengajar
lebih tepat apabila dikatakan sebagai masa kerja karena yang diperhatikan aspek
lama mengajar. Belum memperhatikan kualitas kerja yang melibatkan banyaknya
pelatihan, diklat ataupun kegiatan lainnya
yang diikuti oleh guru bersangkutan. Padahal, bila ditelaah lebih jauh
aspek yang terakhir itulah yang penting diperhatikan sebagai variabel dalam
penelitian ini dan semestinya perlu mendapat penekanan.
Tabel 2
Hubungan antara Pendidikan Guru dengan Pemilihan
Logika Desain Pesan
No.
|
Kriteria Pendidikan
|
Logika Desain Pesan
|
||
Ekspresif
|
Konvensional
|
Retorikal
|
||
1.
|
D3
|
|||
2.
|
S1
|
2 guru
|
3 guru
|
3 guru
|
3.
|
S2
|
|||
4.
|
S3
|
Dari
Tabel 2, guru yang
pendidikannya S1 seharusnya mampu menciptakan gaya komunikasi lebih baik yaitu
gaya komunikasi retorikal. Namun kenyataanya masih banyak guru yang
pendidikannya S1 tetapi masih menggunakan gaya komunikasi konvensional dan gaya
komunikasi ekspresif.
Hal yang menjadi pemicu kondisi di atas adalah latar
belakang pendidikan guru berasal dari S-1 PTS. Pada umumnya, mendapat gelar S-1
merupakan satu-satunya orientasi dalam studi, tanpa memperhatikan kualitas
peningkatan kompetensi diri baik secara pedagogik maupun profesional. Artinya,
peningkatan status gelar kesarjanaan para guru tidak mesti seirama dengan
peningkatan kualitas diri, sehingga berdampak pada cara komunikasi guru di
kelas.
Hal
di atas bertentangan dengan
teori yang menyatakan bahwa guru yang tingkat pendidikannya lebih tinggi akan
memiliki gaya komunikasi yang lebih berkualitas dibandingkan dengan guru yang
tingkat pendidikannya lebih rendah
(Suparlan, 2008:149). Sedangkan pada kenyataanya
pendidikan guru tidak mampu mempengaruhi gaya komunikasi yang digunakan oleh
seorang guru. Hal tersebut sesuai dengan teori perubahan yang dikemukakan oleh
Persons (http://teori
perubahansosial.html).
Persons
menganalogikan perubahan sosial pada masyarakat seperti halnya pertumbuhan pada
makhluk hidup. Persons berasumsi bahwa setiap masyarakat tersusun dari
sekumpulan subsistem yang berbeda berdasarkan strukturnya maupun berdasarkan
makna fungsionalnya bagi masyarakat yang lebih luas. Ketika masyarakat berubah,
umumnya masyarakat tersebut akan tumbuh dengan kemampuan yang lebih baik untuk
menanggulangi permasalahan hidupnya.
Tabel
3
Hubungan antara Populasi Siswa dengan Pemilihan
Logika Desain Pesan
No.
|
Kriteria Populasi Siswa
|
Logika Desain Pesan
|
||
Ekspresif
|
Konvensional
|
Retorikal
|
||
1.
|
Kurang
dari 25 siswa
|
-
|
-
|
-
|
2.
|
Antara
25 sampai 40 siswa
|
2 guru
|
3 guru
|
2 guru
|
3.
|
Lebih
dari 40 siswa
|
-
|
-
|
1 guru
|
Dari Tabel 3, guru yang
mengajar dengan populasi siswa lebih sedikit tidak menjamin dapat menciptakan
gaya komunikasi yang lebih baik dibandingkan dengan guru yang mengajar dengan populasi
siswa lebih banyak. Seperti yang sudah dipaparkan pada tabel itu, dari ketujuh
guru mengajar dengan populasi siswa antara 25 sampai 40 siswa, akan tetapi gaya
komunikasi yang digunakan sangat bervariasi, yaitu 2 guru menggunakan logika desain pesan
ekspresif, 3 guru menggunakan logika desain pesan konvensional, dan ada 2 guru
menggunakan logika desain pesan retorikal. Dengan demikian, tidak terdapat
hubungan antara populasi siswa di dalam kelas dengan pemilihan logika desain
pesan dalam gaya komunikasi guru matematka SMP/MTS.
Kesimpulan
Berdasarkan
paparan data dan pembahasan sebelumnya,
dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat keterkaitan antara pengalaman
kerja guru, pendidikan guru, dan populasi siswa di dalam kelas dengan pemilihan
logika desain pesan dalam gaya komunikasi guru matematika SMP/MTS. Temuan lain, guru lebih banyak menggunakan logika desain pesan retorikal, karena gaya komunikasi ini lebih mudah diterima dan
dipahami anak ketika menyerap materi matematika.
Mengacu
pada kesimpulan di atas, muncul saran sebagai
berikut. Pertama, hasil
penelitian menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara pengalaman guru dengan
pemilihan logika desain pesan yang ada. Hal ini disebabkan karena pengalaman yang diteliti
pada penelitian ini lebih berfokus pada masa kerja (lama mengajar). Untuk
penelitian yang akan datang, fokus penelitian seharusnya lebih diarahkan kepada
pengalaman guru dalam hal banyaknya mengikuti kegiatan-kegiatan pelatihan,
workshop atau penataran yang dapat meningkatkan kapasitas dan kompetensi guru.
Hal terakhir inilah yang dapat mengubah paradigma dan kemampuan guru. Kedua, penelitian ini hanya dilakukan
sebanyak sekali pengamatan terhadap masing-masing guru. Kondisi ini belum dapat
menangkap kemampuan komunikasi guru yang sebenarnya. Apalagi kondisi penelitian
dilakukan pada bulan Ramadhan, juga sangat mempengaruhi performansi guru di
kelas. Oleh karena itu, sebaiknya penelitian berikutnya dilakukan lebih dari 1
kali pertemuan dan tidak dilakukan pada bulan Ramadhan, agar diperoleh potret utuh kemampuan dan permormansi guru secara maksimal. Ketiga, hasil penelitian juga menunjukkan tidak terdapat keterkaitan antara latar
belakang pendidikan guru dengan pemilihan logika desain pesan. Hal ini lebih
disebabkan, guru yang terpilih sebagai subjek penelitian dominan yang memiliki
ijasah S-1. Bagi peneliti yang tertarik
dengan masalah ini, agar guru yang dijadikan subjek penelitian lebih variatif latar belakang
pendidikanya, mulai D-2, S-1 dan S-2. Dengan adanya variasi ini, dimungkinkan
dapat diperoleh data yang lebih kompleks dan akurat untuk memotret kemampuan
komunikasi guru.
Ucapan terima kasih perlu penulis sampaikan kepada semua
pihak yang berkonstribusi dan memberikan sumbangan dalam penelitian ini. Secara khusus, Lembaga Penelitian IAIN
Sunan Ampel Surabaya yang telah sudi membiayai penelitian melalui DIPA tahun anggaran 2011. Apresiasi yang tinggi patut diberikan kepada Saudari
Amrina Rahmatin, Amalia Rizqina, Mas Maul Khoiriyah, dan Defi Fefdianti
(mahasiswi Jurusan Pendidikan Matematika Fakultas Tarbiyah) yang terlibat
secara inten dan sangat membantu penelitian ini mulai dari penyusunan
instrumen, mencari sekolah, pengumpulan data di lapangan, hingga analisis data.
Di tengah menjalankan ibadah puasa Ramadhan, mereka dengan ikhlas melakukan itu semua.
Daftar Pustaka
Daradjat,
Z. 2005. Kepribadian Guru. Jakarta:
Bulan Bintang.
Forrest, D. B. 2008.
Communication Theory Offers Insight into Mathematics Teachers’ Talk. The Mathematics Educator, 18 (2), 23-32.
Forrest, D.B. 2005. Investigating the Logics Secondary Mathematics
Teachers Employ when Creating Verbal Message for Students: An Instance for Bridging
Communication Theory into Mathematics Education. USA: OHIO State University.
Grant,
M. R. 2009. Examining Classroom Interactions and Mathematical Discourses.
Disertasi tidak dipublikasikan. USA: The Ohio State University.
Hamalik, O. 2008. Proses Belajar Mengajar, Jakarta: Bumi
Aksara.
Http://teori perubahansosial.html, diunduh 17 September 2011.
Illyas,
M. 2009. Pengaruh Komunikasi Orang Tua terhadap Prestasi Belajar Siswa pada MTsN
Model Makasar. Makasar: Program Pascasarjana Universitas Hasanudin.
Jurusan
Ilmu Komunikasi. 2009. Proses Komunikasi, dari http://jurusankomunikasi.
blogspot.com/2009/05/proses-komunikasi.html diunduh 27 Mei 2011
Kincaid,
L. 1977. Asas-asas Komunikasi antar Manusia.
Jakarta: LP3ES.
Morrisan
& Wardhany, C. 2009. Teori Komunikasi. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Muhammad,
A. 2007. Komunikasi Organisasi,
Jakarta: Bumi Aksara.
Mulyana,
D. 2005. Komuniukasi Efektif.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Naim,
Ngaimun. 2011. Dasar-dasar Komunikasi
Pendidikan, Jogjakarta: Ar-ruzz Media.
Littlejohn,
S.W. & Foss, K.A. 2009. Teori
Komunikasi (Diterjemahkan dari buku aslinya Theories of Human
Communication). Jakarta: Penerbit Salemba Humanika.
Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D. Bandung: Penerbit Alfa Beta.
Suparlan.
2008. Menjadi Guru Efektif. Yogyakarta:
Hikayat.
Title Post: Implementasi Teori Komunikasi dalam Praktik Pembelajaran Matematika
Rating: 100% based on 99998 ratings. 5 user reviews.
Author: Unknown
Terimakasih sudah berkunjung di blog-kusaeri, Jika ada kritik dan saran silahkan tinggalkan komentar
Rating: 100% based on 99998 ratings. 5 user reviews.
Author: Unknown
Terimakasih sudah berkunjung di blog-kusaeri, Jika ada kritik dan saran silahkan tinggalkan komentar
0 komentar:
Posting Komentar