Pada akhir bulan
Juni 2009, media masa (elektronik maupun cetak) gencar memberitakan tentang
ujian nasional (UN), mulai dari isu bocornya kunci jawaban, beragam kecurangan
baik yang dilakukan oleh siswa ataupun oknum guru, beberapa protes yang menentang pelaksanaan
UN, dan pro-kontra pelaksanaan UN pengganti.
Pertanyaan yang muncul: “Mengapa pemerintah bergeming dengan berbagai kritik dan sorotan media serta tetap malaksanakan UN?” Terkait dengan kebijakan UN tersebut, maka tulisan ini mencoba menganalisis dari sudut “teori pengukuran dan penilaian” dan sebuah tawaran solutif agar UN di masa yang akan datang tidak lagi kisruh dengan berbagai kecurangan seperti yang terjadi belakangan ini.
Pertanyaan yang muncul: “Mengapa pemerintah bergeming dengan berbagai kritik dan sorotan media serta tetap malaksanakan UN?” Terkait dengan kebijakan UN tersebut, maka tulisan ini mencoba menganalisis dari sudut “teori pengukuran dan penilaian” dan sebuah tawaran solutif agar UN di masa yang akan datang tidak lagi kisruh dengan berbagai kecurangan seperti yang terjadi belakangan ini.
Mengapa UN Penting?
Sistem
penilaian yang baik bergantung pada jenis penilaian yang sesuai dan informasinya dapat dengan mudah
dipahami oleh orang yang membutuhkan. Di
samping itu, keputusan hasil penilaian dapat digunakan untuk memaksimalkan potensi
siswa dalam pembelajaran. Drake (2007)
membagi jenis penilaian ke dalam 3
kelompok, yakni assessment for learning
(AFL), assessment of learning (AOL),
dan assessment as learning (AAL).
Namun, AAL tidak banyak literature yang membahas. Oleh karena itu, hanya akan dibahas
peran dan perbedaan antara AFL dan AOL.
AFL
bertujuan untuk memberikan informasi kepada siswa, guru, dan orang tua. Dalam hal ini guru harus tahu target pembelajaran di
kelas, karena AFL berbasis pada classroom
assessment (Mansyur, 2009). Fungsi AFL sebagai quality assurance. Di sisi lain, AOL bertujuan untuk mengetahui
seberapa banyak siswa sudah belajar dalam waktu tertentu, dan AOL berfungsi
sebagai quality control (Swediaty,
2009). Perbedaan antara AFL dan AOL dapat dijelaskan sebagaimana Tabel 1.
Tabel 1
Perbedaan antara AFL dan AOL
No.
|
Overview
|
Assessment of Learning
|
Assessment for Learning
|
1.
|
Alasan
|
Laporan status prestasi
|
Membantu untuk belajar lebih banyak
|
2.
|
Menginformasi-kan
|
Kepada orang lain tentang siswa
|
Kepada siswa sendiri
|
3.
|
Fokus
|
Prestasi standar
|
Target-target
prestasi turunan standar
|
4.
|
Contoh
|
Ujian
Nasional (UN), UASBN, tes prestasi belajar, TIMSS, PIRL
|
Penilaian
yang mendiga-nosis atau membentuk siswa
|
5.
|
Waktu
|
Sesudah belajar jangka panjang
|
Dalam proses belajar
|
Sumber: Swediati (2009)
Berdasarkan
uraian di atas tampak bahwa UN/UASBN memiliki peran dan fungsi berbeda dengan
penilaian yang seharusnya dilakukan oleh guru. Bila dicermati Undang-undang
Sisdiknas No. 20 th. 2003 terkait peran evaluasi, pasal 57 menyebutkan bahwa evaluasi
dilaksanakan dalam rangka pengendalian mutu pendidikan secara nasional sebagai
bentuk akuntabilitas penyelenggaran pendidikan kepada pihak-pihak
berkepentingan. Hal ini diperkuat dengan Permendiknas No 78 th. 2008 pasal 2 yang
menyebutkan UN bertujuan menilai pencapaian kompetensi lulusan secara nasional
pada mata pelajaran tertentu dalam kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan
teknologi.
Dengan
demikian, wajarlah bila pemerintah masih menyelenggarakan UN karena untuk
mengukur sejauh mana tingkat pencapaian Standar Kompetensi Lulusan (SKL) bagi
satuan pendidikan yang bersangkutan. UN perlu dilakukan sebagai bentuk
akuntabilitas penyelenggara pendidikan terhadap pihak-pihak yang
berkepentingan. UN juga perlu dilakukan mengingat perbedaan kualitas sekolah
yang satu dengan yang lain amat beragam (Widdiarto dan Kusaeri, 2009).
Di
sisi lain, munculnya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) sejak tahun
2006 telah memunculkan pemahaman yang beragam dan banyak orang mengatakan ”Apakah
dengan diberlakukannya KTSP maka UN masih diperlukan?” Jawaban sederhana dari
pertanyaan tersebut adalah bila dalam KTSP masing-masing sekolah diberikan
kebebasan mengembangkan soal ujian untuk siswanya, maka sangatlah logis apabila
mereka akan menyusun soal yang membuat siswanya semua lulus dengan nilai yang
sangat memuaskan. SMA “X” misalnya, yang berada di pinggiran kota dengan banyak siswa hanya
12 orang dan oleh masyarakat dikenal hampir “sekarat” berhasil dengan tingkat
kelulusan 97% dengan nilai rata-rata 87,50, sementara SMA “Y” yang cukup
dikenal sebagai sekolah favorit, berhasil dengan tingkat kelulusan 90% dengan
nilai rata-rata 86,00. Apakah kita bisa mengatakan bahwa SMA “X” lebih bagus
dari pada SMA “Y”, yang secara nyata instrumen untuk mengukurnya berbeda?
Disinilah urgensinya UN sebagai alat ukur yang bisa digunakan sebagai benchmarking tatkala marginalitas
kemampuan antara sekolah yang beragam antara satu sekolah dengan yang lain.
Pada level nasional, hasil UN setidaknya akan dapat digunakan sebagai alat
untuk memetakan bagaimana capaian siswa, sekolah, atau daerah tertentu pada
standar nasional yang dipersyaratkan. Bukan tidak mungkin ketika semua sekolah
sudah siap, ke depan bukan tidak mungkin UN akan ditiadakan dan sekolah
dipersilakan melaksanakan ujian sendiri-sendiri.
Meminimalisir Kecurangan dalam UN: Sebuah Tantangan
Target
Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) menjadikan hasil ujian nasional (UN)
SMA dan madrasah aliyah sebagai bahan pertimbangan seleksi penerimaan mahasiswa
baru di perguruan tinggi negeri (PTN) pada 2012 tampaknya tidak akan mudah.
Pasalnya, PTN menilai pelaksanaan UN masih butuh pembenahan serius agar lebih
kredibel. Kecurangan dan ketidakjujuran yang dilakukan kepala sekolah dan guru,
kebocoran soal, beredarnya kunci jawaban dan berbagai jenis tindakan tidak
terpuji lainnya masih seringkali terungkap setiap kali dalam pelaksanaan UN.
Bahkan 33 sekolah di Indonesia diidentifikasi melakukan kecurangan secara
sistematik dan masif sehingga kepada mereka harus dilakukan UN pengganti.
Mengapa
hal itu bisa terjadi? Bila ditelusuri ternyata penentuan stándar kelulusan yang
digunakan dan setiap tahun dinaikan cenderung memicu terjadi beragam kecurangan
secara masif dan sistematik tersebut. Bukankah hasil UN seringkali dijadikan
indikator keberhasilan (gengsi) sekolah? Bahkan para pemangku kepentingan pun (Dinas
Pendidikan dan pemerintah daerah) ikut-ikutan menganggap keberhasilan UN
merupakan indikator keberhasilannya.
Keberhasilan
lulus UN 100% seringkali menjadi target kepala daerah dan hal ini berdampak
dengan cara menekan para guru, kepala sekolah, dan dinas pendidikan. Bila mereka tidak dapat memenuhi target itu,
guru, kepala sekolah dan kepala dinas pendidikan diancam dimutasi atau bahkan dinonjobkan.
Akibatnya, berbagai cara dilakukan oleh guru, kepala sekolah dan kepala dinas
pendidikan agar dapat memenuhi ambisi kepala daerah.
Mencermati fenomena itu, maka sudah waktunya ke depan pola kebijakan UN
dapat meniru pola UASBN yang sudah berjalan 3 tahun. Artinya, hasil UN tidak
dijadikan sebagai penentu kelulusan siswa tetapi lebih merupakan pemetaan mutu
program dan/atau satuan pendidikan. Dengan demikian, beragam kecurangan dalam
UN yang seringkali terjadi dapat diminimalisir seperti halnya sepinya
kecurangan yang terjadi pada UASBN yang tidak pernah kita dengar.
Dengan demikian, UN akan semakin
kredibel di mata pimpinan PTN sehingga
keinginan hasil UN menjadi dasar seleksi masuk jenjang PTN segera terwujud. Dengan mengubah pola kebijakan UN meniru UASBN
maka hasil UN semakin dapat dijadikan dasar
pembinaan serta pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam upaya
meningkatkan mutu pendidikan. Dari sini, akan terlihat dengan jelas mutu
pendidikan kita di seluruh Indonesia. Dari hasil itu pula akan tampak, mana
satuan pendidikan yang perlu dibantu agar mutunya bisa ditingkatkan (www. un.snmptn.or.id,
2009-a).
Karena itu, tidak
boleh ada pemaksaan atau penyeragaman kriteria kelulusan UN yang tidak sesuai
dengan keputusan sekolah. Berapapun
nilai minimal yang sudah ditentukan oleh sekolah, maka hal itu harus diterima
oleh pemerintah daerah. Nah, dengan pemberian kewenangan kriteria kelulusan
kepada masing – masing sekolah inilah, upaya untuk mendapatkan pemetaan
sebagaimana yang diinginkan dari hasil UN menjadi akan terpenuhi. Sebab dengan
cara itulah kondisi sebenarnya dari masing – masing sekolah akan terlihat.
Refleksi
Fenomena
kecurangan dan ketidakjujuran dalam UN menarik untuk dicermati. Mengapa? Karena
dengan masih suburnya kecurangan dan ketidakjujuran UN maka semakin tipislah
harapan Depdiknas meyakinkan pimpinan PTN agar hasil UN menjadi dasar seleksi
masuk PTN pada tahun 2012. Semua pihak juga
harus menyadari, dengan adanya kecurangan dan ketidakjujuran pada UN inilah
para siswa diajari dan dikenalkan
cara-cara yang busuk, menghalalkan segala cara, yang jelas-jelas melanggar
aturan main yang bisa menimbulkan friksi-friksi tidak sehat. Bagi kita yang
berkecimpung di dunia pendidikan, tentu ini meracuni dan akan merugikan kepentingan generasi
penerus bangsa dalam jangka panjang. Inilah proses pembusukan karakter yang sistematik dan
masif.
Dalam
konteks inilah kita perlu merenung dan melakukan refleksi. Dengan cara-cara
itu, tujuan dicapai dengan menghalalkan segala cara. Generasi penerus bangsa diajari
untuk berbangga pada hasil, walaupun proses untuk mendapatkannya penuh
kecurangan dan ketidakjujuran. Hal penting yang tertancap abadi di benak mereka
adalah ketidakjujuran yang dilegalkan bukanlah perbuatan melanggar norma hukum.
Legalitas
terhadap ketidakjujuran itu lambat laun menjadi etos kerja, yang tercermin melalui
komitmen pribadi. Mereka mendefinisikan pengertian profesional sebagai usaha
untuk hidup layak dengan berbagai cara yang dilegalkan. Semakin permisif sikap
suatu bangsa terhadap hal tersebut, maka seolah-olah karakter itulah yang
dianggap paling benar. Kaum terdidik hanya memerlukan keahlian atau
keterampilan saja. Komitmen moral boleh dinomor duakan (www.un.snmptn.or.id, 2009-b).
Padahal
apa pun profesinya diperlukan komitmen moral yang tinggi. Tanpa landasan itu,
keahlian atau jabatan seseorang mudah disalahgunakan. Mereka masuk ke dalam
ranah penuh dengan perilaku mafia. Mafia pendidikan, mafia pengadilan, mafia
pertanahan, mafia perizinan, mafia pelayanan, dan sebagainya. Kalau terjadi,
seahli-ahlinya mafia, tidak dapat dianggap profesional dalam pengertian
sebenarnya. Apa untungnya jika pendidikan di proses ala mafia? Yang pasti,
usaha untuk melakukan pemetaan kwalitas pendidikan berdasarkan hasil UN menjadi
lebih bersifat semu. Sekolah jelek mutunya dianggap bagus. Gambar bagus tidak
mencerminkan keadaan sebenarnya. Lembah digambar gunung. Comberan dikatakan
danau jernih. Semak belukar dianggap sawah siap panen.
Begitulah
kira-kira hasil kinerja para mafia yang ahli membuat wajah berseri-seri, untuk
menutupi realita yang selalu jujur. Kalau masih mungkin berharap, dunia
pendidikan seyogianya jangan disusupi oleh mentalitas mafia. Dalam jangka
panjang jelas akan menghancurkan negeri ini.
Ketidakjujuran
yang memenuhi azas legalitas pada hakikatnya tetap sebagai ketidakjujuran.
Manakala nilai itu dijadikan komitmen moralitas, maka akan semakin merebak
operasi ala mafia yang pragmatik. Kita berharap hal itu tidak terjadi,
khususnya di dunia pendidikan. Kokoh atau robohnya suatu bangsa dimulai dari sini. Oleh
karena itulah, sudah saatnya dipikirkan kebijakan UN yang tidak lagi
mengedepankan standar kelulusan secara
seragam. Mungkin pola UASBN dapat digunakan mengganti pola UN yang digunakan
selama ini agar kehancuran bangsa Indonesia di masa mendatang tidak
terjadi. Dengan demikian maka UN akan memiliki
makna strategis dalam dunia pendidikan di Indonesia.
Referensi
Drake, Susan M., 2007. Creating Standards-Based Integrated Curriculum (Aligning Curriculum,
Content, Asessment, and Instruction). California : A Sage Publication Company.
Mansyur, 2009. Pengembangan Model Assessment for
Learning pada Pembelajaran Matematika di SMP. Ringkasan Disertasi tidak
dipublikasikan. Yogyakarta: PPs Universitas Negeri Yogyakarta .
Nilai Sebuah
Kejujuran dalam Ujian Nasional, 2009-b. Dalam http://un.snmptn.or.id/nilai-sebuah-kejujuran-dalam-ujian-nasional/
. Diakses tanggal 15 Juli 2009.
Peraturan
Menteri, 2008. Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional, Nomor 78 Tahun 2008 tentang Ujian Nasional Sekolah
Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah/Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa
(SMP/MTs/SMPLB), Sekolah Menengah Atas Luar Biasa (SMALB) dan Sekolah Menengah
Kejuruan (SMK) Tahun Pelajaran 2008/2009.
UASBN Sebagai Pemetaan Mutu dan Pengawasan Pendidikan, 2009-a. Dalam
http://un.snmptn.or.id/uasbn-sebagai-pemetaan-mutu-dan-pengawasan-pendidikan/. Diakses
tanggal 15 Juli 2009.
Undang-Undang,
2003. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Swediati, Nony,
2009. Assessment
for Learning dan Assessment of Learning.
Materi kuliah disampaikan pada tanggal 24 April 2009 Matakuliah Teori Respon
Butir Lanjut. Yogyakarta: PPS
Universitas Negeri Yogyakarta .
Widdiarto, Rahmadi dan Kusaeri, 2009. Pemilu,
Ujian Nasional (Unas) dan Masyarakat. Opini pada SKH Kedaulatan Rakyat
tanggal 4 April 2009.
Title Post: Nilai Strategis Ujian Nasional (UN)
Rating: 100% based on 99998 ratings. 5 user reviews.
Author: Unknown
Terimakasih sudah berkunjung di blog-kusaeri, Jika ada kritik dan saran silahkan tinggalkan komentar
Rating: 100% based on 99998 ratings. 5 user reviews.
Author: Unknown
Terimakasih sudah berkunjung di blog-kusaeri, Jika ada kritik dan saran silahkan tinggalkan komentar
0 komentar:
Posting Komentar