Pendidikan
karakter menjadi isu menarik dan hangat dibicarakan kalangan praktisi
pendidikan akhir-akhir ini. Mengapa? Sebab,
dunia pendidikan kita selama ini dianggap terpasung oleh
kepentingan-kepentingan yang absurd, hanya
mementingkan kecerdasan intelektual, akal, dan penalaran, tanpa dibarengi
dengan intensifnya pengembangan kecerdasan hati, perasaan, dan emosi.
Kasus contek masal yang terjadi pada salah satu SD di Tandes Surabaya merupakan satu bukti bahwa dunia pendidikan telah mengabaikan aspek kejujuran di sekolah (Pramodhawardani, 2011).
Kasus contek masal yang terjadi pada salah satu SD di Tandes Surabaya merupakan satu bukti bahwa dunia pendidikan telah mengabaikan aspek kejujuran di sekolah (Pramodhawardani, 2011).
Dengan demikian,
wajar apabila output pendidikan kita menghasilkan orang-orang cerdas, tetapi kehilangan sikap jujur (Yuwono Sudarsono,
2008:XXI). Imbasnya, apresiasi terhadap keunggulan nilai humanistik, keluhuran
budi, dan hati nurani menjadi dangkal. Tidaklah mengherankan jika mereka
menjadi pejabat melakukan tindakan-tindakan korup yang merugikan negara dan masyarakat.
Laporan Kompas
(20 Juni 2011) menunjukkan bahwa korupsi telah menggerogoti seluruh komponen birokrasi pemerintah mulai
dari eksekutif, legislatif dan yudikatif. Di pihak eksekutif, hingga saat ini tercatat
158 kepala daerah (gubernur, wali kota dan bupati) tersangkut kasus korupsi. Di
Dewan Perwakilan Rakyat, lebih dari 42 anggotanya terseret kasus korupsi.
Sementara itu, di institusi penegak hukum yang semula diharapkan bisa
memperbaiki keadaan, ternyata kondisinya lebih parah. Ini artinya, pendidikan
kita, setidaknya telah memiliki andil terhadap maraknya korupsi, kolusi, dan
nepotisme yang menyebabkan Indonesia tergolong sebagai salah satu negara yang
tingkat korupsinya tertinggi di dunia.
Menyadari
kenyataan itu, maka para pemerhati dan pemangku kepentingan memandang perlu melakukan
reorientasi dan penataan terhadap apa yang hilang dan kurang disentuh oleh dunia
pendidikan, yakni lebih fokus pada pembentukan karakter anak. Proses
pembelajaran perlu didesain sedemikian rupa sehingga memungkinkan terjadinya
pembentukan karakter melalui beragam aktivitas dan metode pembelajaran. Untuk
itu, tulisan ini sedikit akan memberikan urun
rembug bagaimana matematika memiliki peran dan berkontribusi dalam pembentukan karakter anak.
A.
Karakter dan Dimensi Terkait
Menurut Wyne
(1991:128), kata karakter berasal dari bahasa Yunani yang berarti ‘to mark’ (menandai), yang memfokuskan
pada aplikasi nilai kebaikan dalam bentuk perilaku atau tindakan. Istilah
karakter juga memiliki kaitan dengan
personality (kepribadian) seseorang, di mana seseorang dikatakan berkarakter
jika sikap dan perilakunya sesuai dengan kaidah moral tertentu. Strom (2002)
mendefinisikan karakter sebagai suatu gabungan dari atribut-atribut pola sikap
dan perilaku yang terpadu untuk mengangkat identitas seseorang dan membedakan
setiap individu dengan yang lainnya. Dari kedua pengertian itu, paling tidak terdapat dua kata kunci yang
termuat dalam karakter, yaitu: sikap (attitude)
dan perilaku (behavior).
Sikap merupakan
faktor yang ada pada diri seseorang yang dapat memotivasi dan mendorong
seseorang untuk berniat melakukan suatu tindakan (berperilaku). Sikap yang
dimiliki seseorang tidak dibawa sejak lahir, tetapi merupakan produk dari
sosialisasi dimana seseorang bereaksi sesuai dengan rangsangan yang diterima.
Sikap seseorang terhadap objek atau rangsangan akan terbentuk melalui
lingkungan sosialnya. Dengan kata lain, terbentuknya sikap melalui proses
pembelajaran dan diperoleh melalui
pengalaman. Sikap menjadi dasar bertindak, dan tindakan menjadi ungkapan sikap
itu. Bila tindakan dilakukan terus menerus secara konsisten sampai menjadi
kebiasaan maka terjadilah pembentukan karakter seseorang.
Sekali sikap
terbentuk, maka sikap akan cenderung bertahan. Oleh karena itu, sikap tidak
hanya mempengaruhi niat untuk melakukan perilaku tertentu, melainkan juga
mempengaruhi aspek-aspek psikologis lainnya, seperti dorongan untuk bekerja, berpendapat,
berpersepsi dan sebagainya. Seseorang yang mempunyai sikap positif terhadap
orang lain akan menunjukkan sikap positif pula terhadap kelompok di mana seseorang
itu bergabung di dalamnya (Wening, 2007:60). Sikap yang telah terbentuk dan
merupakan nilai dalam kehidupan seseorang akan relatif bertahan lama dan sulit
berubah pada diri seseorang, akan tetapi sikap yang belum mendalam pada diri
seseorang akan relatif tidak bertahan lama dan akan mudah berubah.
Ciri-ciri
karakter positif merupakan sesuatu yang bisa dan memang seharusnya
dikembangkan. Ciri karakter positif perlu dimiliki setiap manusia, karena ciri
karakter ini baik bagi diri sendiri, baik bagi keluarga dan baik pula bagi
bangsa. Lewis (2004: 5) menyatakan bahwa ciri-ciri karakter seperti mengasihi,
peduli, menghormati kehidupan, jujur, bertangung jawab, dan adil merupakan ciri
karakter positif. Mengembangkan
ciri-ciri karakter positif seseorang berhubungan dengan nurani, keyakinan-keyakinan
moral, pengalaman pribadi, pola asuh, hak-hak dan tanggung jawab, kebudayaan, hukum
serta ekspektasi-ekspektasinya yang berhubungan dengan diri sendiri, sesama dan
dengan dunia.
Seseorang yang
berperilaku kejam, rakus, suka berfoya-foya dikatakan berkarakter jelek atau berkarakter
negatif, sementara berperilaku suka menolong, berhemat, dan sederhana dikatakan
sebagai orang yang berkarakter mulia. Dengan demikian, seseorang disebut orang yang
berkarakter jika tingkah lakunya sesuai dengan kaidah moral. Kaidah moral itu
memiliki kaitan erat dengan nilai moral yang diyakini benar oleh sekelompok
masyarakat.
Suparno (1992:87) berpendapat bahwa nilai moral
berisikan suatu pandangan dalam diri seseorang, bila moral dilihat dari aspek
sikap. Nilai moral bila dianggap sebagai perilaku,
maka harus berwujud tindakan yang mencerminkan sikap seseorang. Lickona
(1992:87) menambahkan bahwa memiliki pengetahuan nilai moral tidak cukup untuk
menjadi manusia berkarakter. Namun, nilai moral itu harus disertai dengan
karakter bermoral, dengan maksud agar manusia mampu memahami, merasakan, dan
sekaligus mengerjakan nilai-nilai kebajikan. Termasuk karakter bermoral adalah pengetahuan tentang moral (moral knowing), perasaan tentang moral (moral feeling), dan perbuatan bermoral (moral action).
Dimensi-dimensi yang termasuk dalam moral
knowing yang akan mengisi ranah kognitif adalah kesadaran moral (moral
awareness), pengetahuan tentang nilai-nilai moral (knowing moral values),
penentuan sudut pandang (perspective taking), logika moral (moral
reasoning), keberanian mengambil sikap (decision making), dan
pengenalan diri (self knowledge). Moral feeling merupakan
penguatan aspek emosi anak untuk menjadi
manusia berkarakter. Penguatan ini berkaitan dengan bentuk-bentuk sikap yang
harus dirasakan oleh anak, yaitu kesadaran akan jati diri (conscience),
percaya diri (self esteem), kepekaan terhadap derita orang lain (emphaty),
cinta kebenaran (loving the good), pengendalian diri (self control),
kerendahan hati (humility). Moral action merupakan perbuatan atau
tindakan moral yang merupakan hasil (outcome) dari dua komponen karakter
lainnya. Untuk memahami apa yang mendorong seseorang dalam perbuatan yang baik
(act morally) maka harus dilihat tiga aspek lain dari karakter
yaitu kompetensi (competence), keinginan (will), dan kebiasaan (habit).
Pengetahuan
moral, keterampilan pemikiran moral, dan perasaan moral menurut Kirschenbaum
(1995:28) merupakan perilaku-perilaku dan kegemaran-kegemaran lain yang
merupakan kedewasaan moral. Perilaku dan kegemaran-kegemaran ini sebagai
kecenderungan moral yang menimbulkan dorongan seseorang berperilaku sesuai
dengan nilai yang dipahami sebagai nilai yang benar. Untuk memahami apa yang
mendorong seseorang berbuat baik (act morally) juga harus dilihat tiga aspek lain dari karakter,
yaitu: kompetensi (competency), keinginan
(will), dan kebiasaan (habit). Tanpa kemauan yang kuat, meski
orang sudah tahu tentang tindakan yang harus dilakukan, ia tidak akan
melakukannya
Membentuk
karakter yang baik dan kepribadian yang utuh dalam diri seorang anak dapat dilakukan melalui suatu
proses pembudayaan. Proses pembudayaan dapat dilakukan dengan
menumbuhkembangkan seseorang menjadi pribadi manusia yang berbudaya dan
beradab, yang tercermin dari sistem nilai yang dianut oleh pribadi yang
bersangkutan dan masyarakat. Pembudayaan itu salah satunya melalui pendidikan.
Pendidikan untuk
menanamkan karakter pada anak dinamakan pendidikan karakter. Buchori (2011) mengartikan pendidikan karakter
sebagai bentuk pengendalian diri terhadap dua hal: pengendalian diri untuk
melaksanakan apa yang menurut hati nurani harus dilaksanakan dan tak
melaksanakan segala sesuatu yang menurut hati nurani tak boleh dilakukan. Dalam
istilah agama, pengertian ini sejalan dengan takwa: menjalankan apa yang
diperintahkan dan menjauhkan diri dari apa yang dilarang Tuhan. Dengan
demikian, pendidikan karakter sebenarnya merupakan latihan takwa.
Uraian ini menandakan pendidikan
karakter mempunyai makna lebih tinggi dibandingkan pendidikan moral. Pendidikan
karakter tidak hanya sekedar mengajarkan
mana yang benar dan mana yang salah. Yang lebih utama, pendidikan karakter
menanamkan kebiasaan (habituation) tentang hal-hal yang baik, sehingga anak
menjadi paham tentang mana yang baik dan
salah (domain kognitif), mampu merasakan nilai yang baik (domain afektif) dan
mau melakukannya (domain psikomotor). Anak yang telah memperoleh pendidikan
karakter seyogyanya juga akan tampil sebagai manusia yang konsisten dalam perilaku.
Tidak mencla-mencle kata orang jawa. Ia tahu apa yang harus dipelajari dan tak
perlu dipelajari. Ia juga tahu betul apa yang diinginkan dan
yang tak dibutuhkan.
B.
Nilai-nilai Karakter
Uraian
di bagian A menjelaskan secara detail karakter dan berbagai dimensi terkait.
Namun, uraian belum menggambarkan secara jelas nilai-nilai karakter sehingga dapat memberikan panduan untuk mengimplementasikannya
dalam dunia pendidikan. Kemendiknas
(2010) mengidentifikasi 80 butir nilai-nilai karakter, dan ke-80 butir itu
secara garis besar dihimpun ke dalam lima kelompok (seperti disajikan Tabel 1). Kelima kelompok
itu adalah nilai-nilai perilaku manusia terhadap Tuhan, nilai-nilai perilaku
manusia terhadap diri sendiri, nilai-nilai perilaku manusia terhadap sesama manusia,
nilai-nilai perilaku manusia terhadap lingkungan dan nilai-nilai kebangsaan.
Tabel
1
Taksonomi Nilai-nilai Karakter
No
|
Kategori
|
Nilai-nilai Karakter
|
1.
|
Nilai-nilai
perilaku manusia terhadap Tuhan
|
Taat
kepada Tuhan, syukur, ikhlas, sabar, tawakkal (berserah diri kepada Tuhan)
|
2.
|
Nilai-nilai
perilaku manusia terhadap diri sendiri
|
Reflektif,
percaya diri, rasional, logis, kritis, analistis, kreatif, inovatif, mandiri,
hidup sehat, bertanggung jawab, cinta
ilmu, sabar, berhati-hati, rela berkorban, pemberani, dapat dipercaya, jujur,
menepati janji, adil, rendah hati, malu berbuat salah, pemaaf, berhati
lembut, setia, bekerja keras, tekun, ulet atau gigih, teliti, berinisiatif,
berpikir positif, disiplin, antisipatif, inisiatif, visioner, bersahaja,
bersemangat, dinamis, hemat, efisien, menghargai, dedikatif, pengendalian
diri, produktif, ramah, cinta keindahan, sportif, tabah, terbuka, dan tertib.
|
3.
|
Nilai-nilai perilaku manusia
terhadap sesama manusia
|
Taat
peraturan, toleran, peduli, kooperatif,
demokratis, apresiatif, santun, bertanggung jawab, menghormati orang lain,
menyayangi orang lain, pemurah (dermawan), mengajak berbuat baik, berbaik
sangka, empati dan konstruktif
|
4.
|
Nilai-nilai perilaku manusia
terhadap lingkungan
|
Peduli
dan bertanggung jawab terhadap pelestarian, pemeliharaan dan pemanfaatan
tumbuhan, binatang dan lingkungan alam sekitar
|
5.
|
Nilai-nilai kebangsaan
|
Cinta
tanah air, cinta damai, tidak rasis, menjaga persatuan, memiliki semangat
membela bangsa dan negara, berbahasa Indonesia dengan baik dan benar, bangga
sebagai bangsa Indonesia, mencintai produk sendiri, mencintai seni sendiri,
mencintai budaya sendiri, dan memiliki semangat berkontribusi kepada bangsa
dan negara.
|
Dalam
implementasi di lapangan, idealnya ke-80 butir nilai karakter tersebut dapat
terinternalisasi secara utuh. Disadari bahwa memfasilitasi semua nilai tersebut agar dapat
terinternalisasi memang sangat berat. Oleh karena itu, guru dapat mengidentifikasi
nilai-nilai pokok sebagai fokus internalisasi. Nilai-nilai yang dijadikan fokus
tersebut dapat berupa nilai-nilai yang bersifat universal, sedangkan
nilai-nilai lainnya dapat terinternalisasi secara otomatis sebagai dampak
pengiring dari proses internalisasi nilai-nilai pokok tersebut.
Dalam struktur
kurikulum, ada dua mata pelajaran yang terkait langsung dengan pengembangan
karakter (khususnya budi pekerti dan akhlak mulia), yaitu pendidikan Agama dan
PKn. Kedua mata pelajaran itu merupakan mata pelajaran yang secara langsung
mengenalkan nilai-nilai, dan sampai taraf tertentu menjadikan peserta didik
peduli dan menginternalisasi nilai-nilai. Pengintegrasian pendidikan karakter
pada mata pelajaran lain (di luar pendidikan Agama dan PKn) lebih menekankan kepada
penginternalisasian nilai-nilai melalui serangkaian kegiatan-kegiatan di dalam
proses pembelajaran. Tentu, hal itu tanpa menafikan ada unsur-unsur pada mata
pelajaran tertentu yang tanpa disadari mempengaruhi dalam pembentukan karakter
anak, seperti dalam matematika.
Berikut
sebuah contoh nilai-nilai karakter yang dapat dikembangkan dari standar
kompetensi lulusan (SKL) SMP/MTs. Subtansi nilai-nilai karakter yang mengacu
SKL SMP/MTS tersebut diperlihatkan sebagaimana Tabel 2.
Tabel 2
Subtansi
Nilai Karakter pada SKL SMP/MTS
No.
|
Rumusan SKL
|
Nilai-nilai Karakter
|
1.
|
Mengamalkan ajaran agama yang
dianut sesuai dengan tahap perkembangan remaja
|
Iman dan taqwa
|
2.
|
Menunjukkan sikap percaya diri
|
Adil
|
3.
|
Mematuhi
aturan-aturan sosial yang berlaku dalam lingkungan yang lebih luas
|
Disiplin
|
4.
|
Menghargai keberagaman agama,
budaya, suku, ras, dan golongan sosial ekonomi dalam lingkungan nasional
|
Nasionalis
|
5.
|
Mencari dan menerapkan
informasi dari lingkungan sekitar dan sumber-sumber lain secara logis,
kritis, dan kreatif
|
Bernalar,
kreatif
|
6.
|
Menunjukkan kemampuan berpikir
logis, kritis, kreatif, dan inovatif
|
Bernalar,kreatif
|
7.
|
Menunjukkan kemampuan belajar
secara mandiri sesuai dengan potensi yang dimilikinya
|
Gigih,
tanggung jawab
|
8.
|
Menunjukkan kemampuan
menganalisis dan
memecahkan masalah dalam
kehidupan sehari-hari
|
Bernalar
|
9.
|
Mendeskripsi gejala alam dan social
|
Terbuka,
bernalar
|
10.
|
Memanfaatkan lingkungan secara
bertanggung jawab
|
Tanggung
jawab
|
11.
|
Menerapkan nilai-nilai
kebersamaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara demi
terwujudnya persatuan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia
|
Nasionalis,
gotong ro-yong
|
12.
|
Menghargai karya seni dan
budaya nasional
|
Peduli,
nasionalis
|
13.
|
Menghargai tugas pekerjaan dan
memiliki kemampuan untuk berkarya
|
Tanggung
jawab, kreatif
|
14.
|
Menerapkan hidup bersih, sehat,
bugar, aman, dan memanfaatkan waktu luang
|
Bersih
dan sehat
|
15.
|
Berkomunikasi dan berinteraksi
secara efektif dan santun
|
Santun,
bernalar
|
16.
|
Memahami hak dan kewajiban diri
dan orang lain dalam pergaulan di masyarakat
|
Terbuka,
tanggung jawab
|
17.
|
Menghargai adanya perbedaan
pendapat
|
Terbuka,
adil
|
18.
|
Menunjukkan kegemaran membaca
dan menulis naskah pendek sederhana
|
Gigih,
kreatif
|
19.
|
Menunjukkan keterampilan
menyimak, berbicara, membaca, dan menulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa
Inggris sederhana
|
Gigih,
kreatif
|
20
|
Menguasai pengetahuan yang
diperlukan untuk
mengikuti pendidikan menengah
|
Visioner,
bernalar
|
C.
Nilai-nilai Karakter
Pelajaran Matematika
Matematika
terbentuk sebagai hasil pemikiran manusia yang berhubungan dengan ide, proses
dan penalaran. Dengan bernalar, anak bisa membedakan sesuatu yang baik dan buruk,
bermanfaat atau tidak. Bahkan dengan bernalar, anak bisa mengambil tindakan
dari permasalahan yang ada. Ada yang berpendapat hanya melaui kemampuan
bernalar, karakter anak terbentuk. “Benarkah kesimpulan ini?” Tentu jawabannya
belum cukup. Kemampuan bernalar hanya menyentuh aspek pertama (moral knowing) dari tiga komponen
karakter yang diuraikan sebelumnya.
Ada beberapa aspek
dalam matematika bila diajarkan melalui perencanaan yang terarah, bimbingan yang
ketat dari guru, adanya keteladan guru,
maka akan memberikan dampak terbentuknya nilai-nilai karakter pada diri anak. Soejadi
(1999:129) berpendapat bahwa pelajaran matematika di sekolah dapat memberikan
dampak material (akibat adanya penerapan matematika serta keterampilan
matematika) dan formal (tertatanya nalar serta terbentuknya karakter anak). Keduanya akan bermuara pada
terinternalisasinya nilai-nilai karakter pada anak, seperti sikap hemat, berpikir kritis, berpikir logis,
berpikir inovatif, taat asas, jujur, gigih atau ulet, kreatif, teliti, tekun, dan
berinisiatif. Sebagian dari nilai karakter di atas, akan diuraikan secara
rinci pada beberapa sub bagian berikut.
1.
Kesepakatan
Sadar
ataupun tidak, seorang anak yang mempelajari
matematika telah menggunakan kesepakatan-kesepakatan tertentu.
Kesepakatan-kesepakatan itu dapat berupa simbol atau lambang, istilah atau konsep, definisi, serta
aksioma. Sebagai contoh, lambang bilangan yang selama ini digunakan seperti 1, 2, 3, dst merupakan lambang yang
disepakati. Kesepakatan itu tanpa disadari telah tertanam sejak seorang anak
belajar di kelas satu SD atau bahkan di TK. Bilangan yang dilambangkan dengan 2
disepakati dan disebut dengan “dua.” Mengapa? Itulah yang ternyata selalu
digunakan hingga sekarang.
Bagaimana
peran kesepakatan dalam pergaulan di masyarakat? Sadar ataupun tidak, dalam
kehidupan sehari-hari terdapat banyak kesepakatan-kesepakatan, baik yang
tertulis maupun tidak tertulis. Apabila
seseorang berperilaku tidak sesuai dengan kesepakatan tertentu dalam
masyarakat, tentulah ia dianggap sebagai melanggar suatu aturan. Dengan
demikian, seorang anak yang dibiasakan belajar matematika yang penuh dengan
kesepakatan yang harus ditaati, kiranya akan mudah memahami perlunya
kesepakatan dalam kehidupan masyarakat. Inilah salah satu aspek matematika yang
memiliki peran pembentukan karakter anak pada aspek taat peraturan, malu berbuat salah, dan
jujur.
2.
Ketaatasasan
Yang
dimaksud ketaatasaan atau konsistensi adalah tidak dibenarkannya muncul
kontradiksi. Bila pernyataan “Melalui
satu titik P di luar garis a dapat
dibuat tepat satu garis sejajar dengan a,”
diterima sebagai hal yang benar, maka pernyataan “Jika garis a sejajar garis b dan garis p memotong garis a, maka
garis p tidak memotong garis b,” harus dianggap salah. Inilah salah satu contoh konsistensi dalam
matematika.
Seorang anak yang
terbiasa berpikir matematik, tidak terlalu sulit untuk memahami perlunya sikap
konsisten dan tidak sulit melihat inkonsistensi yang terjadi dalam kehidupan.
Bila sikap ini dipupuk dan dibiasakan pada anak selama belajar matematika, akan
memberikan dampak bagi mereka bersikap jujur, menepati janji, dapat dipercaya,
disiplin, dan tertib.
3.
Semesta
Dalam
matematika, terdapat simbol-simbol atau lambang-lambang yang berbentuk
variabel, seperti x, y, z dan sebagainya. Apa makna lambang tersebut? Terserah
kepada si pemakai, akan diberi makna apa. Mungkin diberi makna bilangan atau
yang lain, sesuai dengan kebutuhan pemakai. Hal itu menunjukkan adanya lingkup
pembicaraan yang dapat juga disebut sebagai semesta pembicaraan.
Dalam
matematika, disadari atau tidak terdapat banyak permasalahan yang amat
memperhatikan semesta. Bila semesta tidak diperhatikan, maka sangat besar
kemungkinan jawab yang diberikan akan salah. Perhatikan contoh berikut:
“Tulislah lambang bilangan asli yang sesuai pada titik-titik, sehingga kalimat
menjadi benar: 5 + 2 x …. = 10!” Kalau tidak disadari semestanya, maka tidak
mustahil anak akan menjawab 2,5. Benarkah? Tentulah jawaban ini salah karena
2,5 bukan merupakan anggota dari semesta yang diminta yakni bilangan asli.
Jawaban yang benar adalah tidak ada bilangan asli yang memenuhi persamaan yang
dimaksudkan.
Bagaimana
penerapan keberadaan semesta dalam kehidupan sehari-hari? Tentulah tidak sulit,
bahwa manusia di bumi ini diciptakan dalam kelompok-kelompok, menjadi
berbangsa-bangsa, suku bangsa atau bahkan menjadi satuan organisasi. Dalam
masing-masing kelompok tersebut, berlaku suatu aturan tertentu. Seseorang yang
akan melakukan tindakan atau melontarkan kata-kata tertentu, perlu
memperhatikan di mana dia berada atau di lingkup mana dia berada. Bila
seseorang terbiasa dengan aturan matematika, maka mereka tidak sulit melakukan
penyesuaian seperti halnya dampak yang diinginkan keterikatan semesta selama
belajar matematika. Kemungkinan tidak terjadi peristiwa memalukan seperti yang
terjadi pada konggres PSSI 20 Mei 2011 lalu, bila seluruh anggota konggres
(termasuk pemegang suara) telah mempelajari matematika dengan benar. Bila
statuta FIFA dianggap sebagai semestanya, maka semua akan tunduk dan mengikuti
ketentuan yang digunakan untuk proses pemilihan pengurus PSSI.
Beberapa aspek atau
unsur dalam matematika di atas, dalam proses belajar mengajar sering kali tidak disadari secara penuh, dan kurang
eksplisit. Sementara itu, tujuan dan manfaat pelajaran matematika tidak hanya
aspek material (penerapan dan keterampilan) tetapi yang lebih penting adalah
aspek formal. Aspek dan unsur penting itu, bila mendapat perhatian secara
sungguh-sungguh dalam proses belajar mengajar akan semakin terasa adanya
nilai-nilai karakter yang dapat dimunculkan.
E.
Penutup
Tulisan
ini ingin penulis akhiri berupa ajakan kepada seluruh guru/pengajar matematika, agar memulai dari sekarang mengubah mindset dari pengajar ke pendidik.
Dengan demikian, apa yang kita lakukan tidak semata-mata melakukan transfer
ilmu kepada anak didik, akan tetapi bagaimana moral, sikap, dan perilaku anak
didik kita juga diperhatikan. Dalam konteks demikian, perlu adanya keikhlasan, dedikasi, dan pengabdian yang tinggi.
Memang berat, tetapi tidak ada salahnya kalau dicoba, bila kita tidak
ingin menyaksikan kehancuran generasi penerus kita kelak karena hancurnya morak
dan akhlaknya.
D.
Referensi
Buchori,
M. (2011). Pendidikan Watak. Kompas, 3
Mei 2011, hal. 5.
Elkind,
D. H. & Sweet, F. How to do character
education. Artikel diambil pada tanggal 11 April 2011 dari http://www.goodcharacter.com/Article-4.html.
Harta,
I. (2010). Pengintegrasian pendidikan
karakter dalam pembelajaran matematika SMP/MTs. Artikel diakses dari
internet pada tanggal 14 April 2011.
Kementerian
Pendidikan Nasional (Kemendiknas). (2010). Grand Desain Pendidikan Karakter.
Kompas,
20 Juni 2011. Kerusakan Moral Mencemaskan,
hal. 1.
Kirschenbaum,
H. (1995). Enhance values and moralityin
schools and youth setting. Boston: Allyn & Bacon.
Lewis,
B.A. (2004). Character building untuk
remaja (Terjemahan Arvin Saputra dan Lyndon Saputra. Buku asli diterbitkan
1987). New York: Publishing Group.
Lickona,
T. (1996). Eleven principles of effective character education. Journal of Moral Education, 25,
93-100.
Norton,
G. R. (1977). Parenting. Englewood
Cliffs: Prentice Hall, Inc.
Pramodhawardani,
J. (2011). Kejujuran itu Bernama Siami. Kompas,
16 Juni 2011, hal. 5.
Strom,
T. (2002). Celebrating the character building aspects of agricultural education
in school and community. The Agricultural
Education Magazine, 75, 6-12.
Soedjadi,
R. (1999). Kiat pendidikan matematika di
Indonesia: Konstatasi keadaan masa kini menuju harapan masa depan. Jakarta:
Depdikbud.
Sudarsono,
J. (2008). Pendidikan, kemanusiaan dan peradaban. Dalam Soedijarto (Ed.). Landasan dan Arah Pendidikan Nasional Kita (pp.
XVII-XXII). Jakarta: PT Kompas Media Nusantara.
Suparno.
(2002). Pendidikan budi pekerti di sekolah: Suatu tinjauan umum. Yogyakarta:
Penerbit Kanisius.
Wening,
S. (2010). Metode aktivitas evaluasi reflektif dan pembentukan karakter.
Prosiding Seminar Nasional Himpunan Evaluasi Pendidikan Indonesia di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, tanggal 29-30 Januari 2010.
Wening,
S. (2007). Pembentukan karakter remaja
awal melalui pendidikan nilai yang terkandung dalam pendidikan konsumen: Kajian
evaluasi reflektif kurikulum SMP di Yogyakarta. Disertasi tidak dipublikasikan. Yogyakarta: PPs Universitas
Negeri Yogyakarta.
Wyne,
E. A. (1991). Character and academics in the elementary school. Dalam J.S.
Benninga (Ed.). Moral Character and Civic
Eduation in The Elementary School. New York: Teachers College Press.
Wynne,
E., & Walberg, H. Developing
character: Transmitting knowledge. Diambil pada tanggal 9 April 2011 dari http://www.wilderdom.com/
character.html
Title Post: TRANSFORMASI NILAI-NILAI KARAKTER MELALUI PELAJARAN MATEMATIKA DI SEKOLAH
Rating: 100% based on 99998 ratings. 5 user reviews.
Author: Unknown
Terimakasih sudah berkunjung di blog-kusaeri, Jika ada kritik dan saran silahkan tinggalkan komentar
Rating: 100% based on 99998 ratings. 5 user reviews.
Author: Unknown
Terimakasih sudah berkunjung di blog-kusaeri, Jika ada kritik dan saran silahkan tinggalkan komentar
2 komentar:
terimakasih,karena telah membuka wawasan saya selaku guru matematika
Luar biasa menginspirasi. Izin untuk salin.
Posting Komentar