Miskonsepsi
muncul ketika anak gagal menghubungkan pengetahuan baru dengan pengetahuan
sebelumnya. Miskonsepsi terjadi bila anak salah menerapkan strategi pengetahuan
yang dipelajari sebelumnya untuk menyelesaikan permasalahan baru (Russel
& O’dwyer, 2009).
Young & O’Shea (1981) secara khusus membedakan antara
miskonsepsi dengan berbagai bentuk kesalahan lain seperti kesalahan (yang
diterjemahkan dari kata errors) dan
salah algoritma (faulty algorithms). Menurut mereka, kesalahan merupakan jawaban
salah dari suatu problem yang diberikan, disebabkan karena ceroboh, lupa, belum
pernah diajarkan materi yang diujikan atau faktor penyebab lainnya. Salah
algoritma merupakan ketidaksempurnaan langkah atau prosedur sehingga
menghasilkan jawaban salah. Miskonsepsi merupakan pemahaman anak yang salah
sehingga menyebabkan pola kesalahan sistematis. Miskonsepsi merupakan uraian
jawaban anak tentang konsep tertentu yang berbeda dengan konsep yang diajarkan
guru, bersifat stabil dan kuat (Xiaobao
Li, 2006).
Terjadinya
miskonsepsi dipengaruhi oleh banyak hal. Salah satunya disebabkan sangat
kompleksnya konsep-konsep matematika. Kompleksitas konsep matematika itu,
sering kali dalam penyajianya tanpa
diimbangi dengan cara penyampaian yang baik oleh guru. Artinya, ketika
menyampaikan konsep matematika, guru kurang memperhatikan tingkat perkembangan
psikologis anak. Dengan demikian, terjadi celah antara keinginan guru dengan
fakta kemampuan anak dalam memahami konsep matematika.
Peristiwa terjadinya
miskonsepsi dapat dijelaskan melalui beberapa teori. Dua di antaranya teori pemrosesan
informasi (information processing) dan
teori Piaget. Kedua teori itu
disajikan secara ringkas pada bagian berikut.
1.
Teori
Pemrosesan Informasi
Teori ini menekankan
pada proses memori dan proses berpikir (thinking).
Para psikolog mempelajari bagaimana informasi disimpan dalam memori,
dipertahankan atau disimpan setelah disandikan (encoded), ditemukan kembali untuk tujuan tertentu. Ketiga proses
itu digambarkan oleh Santrock (2008) seperti pada Gambar 1.
Gambar 1: Pemrosesan Informasi
dalam Memori
Informasi baru yang
ditangkap panca indera masuk ke dalam memori jangka pendek yang memiliki
kapasitas terbatas, di mana informasi dipertahankan sekitar 30 detik (Gagne,
1973). Informasi ini dapat hilang, kecuali informasi itu diulangi atau diproses
lebih lanjut untuk diteruskan ke memori jangka panjang. Informasi yang
diteruskan ke memori jangka panjang berinteraksi dengan informasi yang telah
tersimpan di memori. Pengetahuan sebelumnya sangat mempengaruhi cara
menyandikan, membuat informasi dan mengambil
informasi (Santrock, 2008).
Setelah anak
menyandikan atau menyimpan informasi dan merepresentasi-kannya dalam memori,
mereka mungkin mampu mengambil kembali beberapa informasi. Namun, mereka juga
melupakan beberapa di antaranya. Interaksi antara informasi baru dengan
informasi lama ini dapat memperluas jaringan yang sudah ada atau membentuk
jaringan yang lebih kecil dan terisolasi.
Dalam konteks
pembelajaran aljabar, informasi baru tersebut diartikan sebagai konsep aljabar
yang baru diterima anak ketika mereka mengikuti kegiatan proses belajar
mengajar di kelas. Selanjutnya, konsep ini bertindak sebagai stimulus, sehingga
perlu direspon dengan cara melakukan interaksi dengan konsep yang tersimpan
pada memori jangka panjang. Hasil interaksi ini membentuk konsepsi yang
tersimpan pada memori jangka panjang.
Oleh karena konsep aljabar merupakan hal
yang baru bagi siswa kelas VII SMP, maka sangat dimungkinkan pada memori jangka
panjang mereka tersedia jaringan konsep aljabar yang sangat sederhana. Jaringan
konsep ini menyebabkan keterbatasan siswa menyediakan konsep aljabar pada
struktur kognitif tempat konsep baru dikaitkan. Keterbatasan ini berpotensi
membentuk jaringan konsep yang berbeda dengan jaringan konsep yang diberikan
oleh guru sehingga berpotensi menyebabkan miskonsepsi pada siswa.
2.
Teori
Piaget
Menurut
teori ini, dalam memahami dan menyerap informasi baru di benaknya, anak menggunakan
skema (scheme). Skema merupakan
kerangka atau konsep yang telah ada dalam pikiran anak yang digunakan untuk
mengorganisasikan dan menginterpretasikan informasi itu. Skema bisa merentang
mulai dari yang sederhana sampai skema yang kompleks (Santrock, 2008). Skema berupa
struktur kognitif yang digunakan anak untuk menyesuaikan dengan lingkungan dan
mengorganisasikannya. Dengan demikian, penguasaan terhadap suatu skema baru
mengindikasikan adanya perubahan di dalam struktur mental anak.
Dalam
konteks ini, Piaget mengemukakan suatu pandangan perlunya adaptasi. Adaptasi
berkaitan dengan penyesuaian skema yang sudah dimiliki anak ketika berinteraksi
dengan lingkungan. Adaptasi terdiri atas dua proses yang
berlawanan namun tidak dapat dipisahkan, yakni asimilasi dan akomodasi (Byrnes,
2008). Kedua peristiwa itu terjadi secara bersamaan. Asimilasi terjadi ketika
anak memasukkan pengetahuan baru ke dalam pengetahuan yang sudah ada.
Sebaliknya, akomodasi terjadi ketika anak menyesuaikan diri pada informasi baru.
Artinya, anak menyesuaikan skema mereka dengan informasi yang baru diterimanya.
Pada saat asimilasi dan akomodasi
bekerja sama untuk menghasilkan perubahan kognitif, terjadi gerakan kuat antara
keadaan ekuilibrium dan disekuilibrium kognitif. Ekuilibrium adalah suatu mekanisme yang
dikemukakan Piaget untuk menjelaskan bagaimana anak bergerak dari satu tahap
pemikiran yang satu ke tahap pemikiran berikutnya. Pergeseran ini terjadi saat
anak mengalami konflik kognitif atau disekuilibrium
dalam memahami konsep baru. Dalam kondisi semacam ini, peristiwa salah konsepsi
dapat terjadi, karena terjadi proses penyesuaian struktur konsep dalam struktur
kognitif anak yang belum tentu benar.
Referensi
Byrnes, J.P. (2008). Cognitive
development and learning in instructional context. (3rd ed). New
York: Pearson Education, Inc.
Gagne, R.M. (1973). Some new views
of learning and instruction. Dalam F. J. Crosswhite, J.L. Higgins, A.R.
Osborne, & R.J. Shumway (Eds). Teaching
Mathematics:Psychological Foundations, (pp. 107-116). Belmont: Wadsworth
Publishing Company.
Russel, M. & O’dwyer, L.M. (2009). Diagnosing students’misconceptions
in algebra: Results from an experimental pilot study. Behavior Research Methods, 41, 414-424.
Santrock, J.W. (2008). Psikologi
pendidikan. (Terjemahan Tri Wibowo). New York: McGraw-Hill Company. (Buku
asli diterbitkan tahun 2004).
Xiaobao Li (2006). Cognitive analysis of student’s errors and
misconceptions in variables, equations, and functions. Disertasi doktor,
tidak diterbitkan, A & M University,
Texas.
Young, R & O’Shea,
T. (1981). Errors in children’s subtraction. Cognitive Science, 5,
152-177.
Title Post: Terjadinya Miskonsepsi dan Teori-Teori Terkait
Rating: 100% based on 99998 ratings. 5 user reviews.
Author: Unknown
Terimakasih sudah berkunjung di blog-kusaeri, Jika ada kritik dan saran silahkan tinggalkan komentar
Rating: 100% based on 99998 ratings. 5 user reviews.
Author: Unknown
Terimakasih sudah berkunjung di blog-kusaeri, Jika ada kritik dan saran silahkan tinggalkan komentar
2 komentar:
trimakasih banyak pak, sangat bermanfa'at
pak bisa membantu saya mencari teori yang mengaitkan tentang hasil penelitian saya bahwa miskonsepsi terbanyak dialami siswa berkemampuan matematika sedang dan siswa berkemampuan rendah cenderung tidak memahami konsep.
Posting Komentar