Kata “diagnosis”
berasal dari bahasa Yunani, dari kata “diagignÓskein.”
Secara harfiah, kata itu menurut Rupp et al. (2010) memiliki makna: untuk
mengetahui secara tepat (to know
precisely), untuk memutuskan (to
decide), dan untuk sependapat (to
agree upon). Yang & Embretson (2007) mengartikan diagnosis ke dalam
tiga aspek: deskripsi tentang karakteristik sesuatu atau fenomena,
mengidentifikasi sifat dari sesuatu atau penyebab dari fenomena, dan keputusan
atau kesimpulan yang dibuat melalui deskripsi atau analisis.
Berdasarkan dua pengertian itu, diagnosis berarti suatu tindakan menganalisis suatu permasalahan, mengidentifikasi penyebabnya secara tepat untuk tujuan pengambilan keputusan, dan hasil keputusan tersebut dilaporkan dalam bentuk deskriptif.
Berdasarkan dua pengertian itu, diagnosis berarti suatu tindakan menganalisis suatu permasalahan, mengidentifikasi penyebabnya secara tepat untuk tujuan pengambilan keputusan, dan hasil keputusan tersebut dilaporkan dalam bentuk deskriptif.
Diagnosis juga
dipengaruhi oleh pemikiran seorang evaluator sekaligus filosof bernama Schriven
(Gierl et al., 2007). Ada tiga aspek
yang dapat dicatat dari pendapat Scriven. Pertama,
diagnosis mencakup proses menentukan sifat kemampuan (performance) seorang anak dan melaporkan dari proses itu. Tes
diagnostik digambarkan sebagai suatu proses di mana hasil tes memberikan
informasi tentang kemampuan kognitif peserta tes dan hasil evaluasi tersebut
dilaporkan. Pendekatan ini dalam konteks pengujian menekankan interaksi antara
proses mental dan strategi yang digunakan peserta tes dalam menjawab item.
Kesimpulan skor tes dalam tes diagnostik harus mudah dipahami dan bermanfaat
dalam mengevaluasi kemampuan peserta tes, karena item dirancang untuk mengukur
kemampuan, proses dan strategi yang digunakan peserta tes.
Kedua,
proses
diagnosis harus memungkinkan untuk mengklasifikasikan kemampuan kognitif
peserta tes dengan menggunakan sistem pelaporan yang mudah diterima. Untuk itu,
hasil tes diagnostik harus mampu mendeskripsikan pola pikir peserta tes dengan
menggunakan bahasa yang mudah dipahami. Selain itu, hasil tes diagnostik juga
harus memberikan informasi tentang kendala-kendala yang dialami peserta tes
dalam menyelesaikan item yang dapat dilaporkan kepada siswa, guru, orang tua,
dan seluruh komponen stakeholder.
Ketiga,
diagnosis
merupakan bagian dari suatu proses pembelajaran yang lebih besar, dengan tujuan
utama mengidentifikasi permasalahan pembelajaran dan membantu mengatasi
permasalahan pembelajaran. Tes diagnostik yang efektif harus terintegrasi
dengan baik dalam lingkungan pembelajaran, dan dikembangkan untuk membantu guru
memahami bagaimana siswa berpikir dan menyelesaikan masalah. Dengan demikian,
skor yang didapatkan dari tes diagnostik harus dipandang sebagai sumber
informasi yang dapat dipadu dengan sumber informasi lain tentang peserta tes
(seperti tugas-tugas rumah, tes sehari-hari atau yang lainnya) untuk membuat
keputusan pembelajaran.
Depdiknas (2007)
memaknai tes diagnostik sebagai tes yang dapat digunakan untuk mengetahui
kelemahan dan kekuatan siswa. Dengan demikian, hasil tes dapat digunakan
sebagai dasar memberikan tindak lanjut berupa perlakuan yang tepat dan sesuai
dengan kelemahan yang dimiliki siswa. Mengacu dua pengertian terakhir, maka tes diagnostik memiliki dua fungsi utama, yaitu: mengidentifikasi masalah atau kesalahan yang dialami
siswa dan merencanakan tindak lanjut berupa
upaya-upaya pemecahan sesuai masalah atau kesalahan yang telah teridentifikasi.
Tes diagnostik memiliki beberapa
karakteristik: (a) dirancang untuk mendeteksi kelemahan belajar siswa, karena itu format dan respons yang
dijaring harus didesain memiliki fungsi diagnostik; (b) dikembangkan berdasarkan analisis terhadap sumber-sumber kesalahan yang mungkin
menjadi penyebab munculnya masalah siswa; (c) menggunakan soal-soal bentuk constructed response
(bentuk uraian atau jawaban
singkat), sehingga mampu menangkap informasi secara lengkap. Dalam
kondisi tertentu dapat mengunakan bentuk selected
response (misalnya bentuk pilihan ganda), namun harus disertakan penjelasan mengapa peserta
tes memilih jawaban tertentu.
Dengan
demikian, dapat meminimalisir
jawaban terkaan
dan dapat ditentukan tipe kesalahan atau masalahnya; dan (d) disertai rancangan tindak lanjut yang sesuai
dengan kesulitan yang teridentifikasi (Depdiknas, 2007).
Corter (1995) menambahkan bahwa tes diagnostik
memiliki karakteristik berbeda dengan tes prestasi belajar. Tes diagnostik
dirancang untuk menilai penguasaan dan kemampuan siswa secara spesifik.
Sementara itu, sub-sub kemampuan yang harus dikuasai siswa bersifat diskret,
yakni menguasai seluruhnya atau tidak menguasai sama sekali. Namun, tes diagnostik dapat juga digunakan untuk menilai
prestasi siswa.
Hasil tes diagnostik dapat digunakan untuk melakukan
intervensi yang efektif kepada siswa secara individual atau kelas, dalam upaya
mengevaluasi proses pembelajaran. Tes diagnostik tidak hanya memberikan
informasi berupa angka sebagai indikator kemampuan siswa, namun juga mendeskripsikan
penguasaan siswa pada sub kemampuan tertentu.
Berbagai pendapat di atas, menandakan
bahwa tes diagnostik memiliki beberapa karakteristik berikut. Pertama, tes diagnostik tidak hanya
memberikan informasi berupa angka sebagai indikator kemampuan siswa, namun juga
mendeskripsikan penguasaan siswa pada sub kemampuan tertentu. Dengan demikian, tes diagnostik juga harus
mampu membedakan antara kemampuan yang telah dikuasai oleh seorang siswa dan
kemampuan yang masih harus dipelajari. Kedua,
tes diagnostik harus mampu memberikan informasi spesifik berdasarkan jawaban
yang didapatkan dari siswa, sehingga dapat diidentifikasi kelemahan atau
ketidakkonsistenan pola pikirnya. Dengan demikian, dapat memberikan potret yang
utuh tentang kemampuan siswa. Artinya, informasi harus didapatkan berdasarkan
jawaban yang diberikan siswa. Informasi tersebut, dalam tes diagnostik
disajikan dalam bentuk umpan balik (feedback).
Referensi:
Depdiknas
(2007). Tes diagnostik. Jakarta:
Direktorat Pembinaan SMP pada Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar
dan Menengah.
Corter, J.E. (1995). Using clustering methods to
explore the structure of diagnostic test. Dalam P.D Nichols, S. F. Chipman
& R. L. Brennan (Eds), Cognitive
Diagnostic Assessment (pp. 305-326). New
Jersey: Lawrence Erlbaum Associates.
Gierl, M.J. (2007). Making diagnostic inferences
about cognitive attributes using the Rule-Space Model and Attribute Hierarchy
Methods. Journal of Educational
Measurement, 44, 325-340.
Rupp, A.A., Templin, J. & Henson, R.A. (2010). Diagnostic measurement: Theory, methods and
applications. New York: The Guilford Press.
Yang, X. & Embretson, S.E. (2007). Construct
validity and cognitive diagnostic assessment. Dalam J.P.Leighton & M.J.
Gierl (Eds). Cognitive Diagnostic Assessment
for Education: Theory and Applications, (pp. 119-145). New York: Cambridge
University Press.
Title Post: TES DIAGNOSTIK
Rating: 100% based on 99998 ratings. 5 user reviews.
Author: Unknown
Terimakasih sudah berkunjung di blog-kusaeri, Jika ada kritik dan saran silahkan tinggalkan komentar
Rating: 100% based on 99998 ratings. 5 user reviews.
Author: Unknown
Terimakasih sudah berkunjung di blog-kusaeri, Jika ada kritik dan saran silahkan tinggalkan komentar
1 komentar:
Seperti apa sih soal-soal pada tes diagnostik ? Bisa ga tes diagnostik diambil dari ulangan harian ? Kan dari ulangan harian kita dapat melihat kelemahan belajar siswa !
Posting Komentar