Judul
di atas sengaja diakhiri dengan “tanda tanya” bukan “ titik.” Mengapa? Itu sebagai
refleksi kegelisahan penulis, setelah beberapa waktu lalu mengikuti konferensi
nasional tentang Islam dan kepemimpinan perempuan. Dalam sebuah sesi,
diperdebatkan dengan sengit ketentuan-ketentuan dalam Islam yang dianggap
membelenggu dan mendeskreditkan perempuan. Benarkah demikian?
Interpretasi
Deskriminatif
Pandangan yang
memberikan dasar legitimasi bagi diskriminasi, marginalisasi, dan subordinasi
terhadap perempuan, tidak hanya pada
kitab-kitab tafsir, melainkan juga dalam kitab fiqih. Padahal, kitab ini terus
dibaca oleh masyarakat muslim dari waktu ke waktu, dan disosialisasikan secara
berkesinambungan dari generasi ke generasi. Karenanya, pandangan-pandangan itu
akan diyakini sebagai hokum agama yang dinyatakan oleh teks-teks otoritatif
secara eksplisit. Dampaknya, pandangan itu memiliki tingkat sakralitas seperti
agama sehingga gugatan dan kritik yang ditujukannya dimaknai sebagai gugatan
dan kritik terhadap agama itu sendiri.
Pemahaman
terhadap teks-teks agama, baik yang berasal dari al-Qur’an dan al-Hasits yang
berakibat merendahkan kaum perempuan merupakan kekeliruan dalam menafsirkan teks-teks
tersebut, serta kesalahan dalam memberikan interpretasi. Oleh karena itu,
pandangan semacam itu perlu diuji kebenarannya dan dicarikan akar masalahnya.
Nasr Hamid Abu Zayd (2008) menjelaskan secara tegas adanya penindasan kaum
laki-laki terhadap perempuan dalam berbagai bentuk dan dengan menggunakan
berbagai media. Penindasan itu merefleksikan ketakutan laki-laki yang kemudian
berupaya menjauhkan dan meminggirkannya. Dalam hal ini, agama dipergunakan
sebagai perangkat ideologis untuk menegakkan dominasi laki-laki. Pada tataran
realitas kehidupan sekarang, pandangan-pandangan konservatif ini tengah
menghadapi proses alienasi sosial. Keniscayaan
perkembangan sosial, ekonomi, dan politik dewasa ini telah menuntut dan memaksa
kaum perempuan terlibat dalam aktivitas-aktivitas yang bukan hanya pada ruang domestik, namun juga ruang-ruang publik secara lebih luas. Ini
merupakan keniscayaan perkembangan modernisme yang tidak dapat disangkal.
Persoalan
itu muncul lantaran adanya problem pemaksaan teks-teks keagamaan dan
penafsiran, serta pentakwilannya bermuara pada interpretasi yang diskriminatif
serta sempitnya wawasan. Akibatnya, penafsiran itu sendiri dianggap sebagai
kebenaran agama yang tidak bisa disanggah atau dikritik.
Dalam
kerangka mengaktualisasikan kembali prinsip-prinsip dan cita-cita Islam, maka
tidak ada jalan lain kecuali melakukan pemaknaan ulang (ta’wil) atas tafsir-tafsir
di atas. Dengan demikian, Islam dapat tetap memberikan apresiasinya terhadap
dinamika sosial yang terus berkembang, tanpa harus terjebak pada
praktik-praktik relasi yang kurang bermartabat. Pertama, tafsir merupakan cara seorang mufassir berupaya mengungkapkan makna-makna teks yang menjadi acuan
atau sumber legitimasi.Tegasnya, tafsir adalah produk pemikiran. Oleh
karenanya, seringkali terjadi pengungkapan makna atas satu teks oleh seorang mufassir berbeda dengan makna yang
ditemukan oleh mufassir lain. Hal ini
terjadi karena adanya perbedaan perspektif, kecenderungan, kemampuan, maupun
sumber informasi.
Kedua, adalah keniscayaan bahwa latar
belakang sejarah sosial para mufassir
memberikan pengaruh yang signifikan bagi pemikiran-pemikirannya. Artinya,
pandangan-pandangan mereka merupakan refleksi atas konteks sejarah sosial
mereka. Mengingat sejarah selalu memperlihatkan dialektika perubahan, maka
produk-produk pemikiran sejatinya tidak harus selamanya dipertahankan dalam
segala ruang dan waktu sosial.
Ketiga, kecenderungan umum dalam
pemaknaan teks adalah secara literal dan mengabaikan pemaknaan subtansial. Satu
teks (lafadz) hanya dimaknai menurut
makna lahiriyah. Padahal, di dalam makna lahiriah tersebut tersembunyi
pesan-pesan fundamental yang ingin ditegakkan. Pesan fundamental agama adalah
keadilan dan kemaslahatan (kebaikan sosial). Pesan-pesan inilah yang seharusnya
menjadi perhatian utama ketika memaknai kembali teks-teks. Untuk itu, dalam
memaknai teks, analisis tentang sejarah social, politik, ekonomi, dan budaya
tempat ayat-ayat tersebut diturunkan mutlak diperlukan.
Title Post: Apakah Islam Diskriminatif terhadap Perempuan?
Rating: 100% based on 99998 ratings. 5 user reviews.
Author: Unknown
Terimakasih sudah berkunjung di blog-kusaeri, Jika ada kritik dan saran silahkan tinggalkan komentar
Rating: 100% based on 99998 ratings. 5 user reviews.
Author: Unknown
Terimakasih sudah berkunjung di blog-kusaeri, Jika ada kritik dan saran silahkan tinggalkan komentar
0 komentar:
Posting Komentar