Kegiatan diagnosis bagi
anak yang mengalami kesulitan belajar bukanlah hal baru. Kegiatan ini biasanya
dilakukan melalui dua tahapan, yakni: menetapkan skor masing-masing anak dan
menetapkan skor batas (cut-off score) yang tepat. Skor yang
diperoleh masing-masing anak, selanjutnya dibandingkan dengan skor batas yang telah ditetapkan. Kedua tahapan
itu sangat rawan muncul kesalahan sehingga mempengaruhi hasil yang didapat.
Sumber kesalahan umumnya terletak pada penetapan skor batas, karena hanya didasarkan pada estimasi semata (Templin, 2011).
Sumber kesalahan umumnya terletak pada penetapan skor batas, karena hanya didasarkan pada estimasi semata (Templin, 2011).
Untuk meminimalisir
kelemahan di atas, para ahli psikometri mengembangkan suatu model diagnosis
yang dinamakan model diagnosis latent
class. Filosofi yang dijadikan dasar model ini adalah keberadaan objek
pikiran yang tidak tampak. Artinya, orang tidak dapat melihat apa yang terjadi
dan dipikirkan oleh anak (Jahja Umar, 2011). Yang dapat diamati hanyalah
manifestasi atau wujud dari apa yang dipikirkan anak, seperti kesalahan yang
dilakukan anak ketika diberi problem tertentu atau skor hasil tes.
Prinsip dasar yang
digunakan model ini adalah menempatkan peserta tes ke dalam satu dari dua
kelompok, yakni kelompok menguasai (mastery) atau kelompok tidak menguasai (non-mastery).
Hal ini menurut Templin (2011) lebih mudah dilakukan dibandingkan dengan
menempatkan peserta tes pada sebuah skala tertentu.
Salah satu model latent class yang saat ini sedang
berkembang pesat di Eropa dan Amerika Serikat adalah Model DINA. DINA berasal
dari kata Deterministic-Input, Noisy “And” gate. Deterministic input merujuk pada jawaban laten (latent response), disimbolkan dengan
h, menggambarkan
jawaban seorang anak pada suatu item
(salah atau benar) tergantung pada penguasaanya terhadap atribut yang
diukur (Rupp et al., 2010). Artinya, bila seorang anak menguasai
seluruh atribut, maka h
akan bernilai 1, sebaliknya bila seorang anak tidak menguasai sebagian atribut
maka h akan bernilai
0. Sebagai contoh, untuk menyelesaikan item dengan benar (h = 1), anak harus menguasai empat
kemampuan dasar (atribut) berikut: (A1) melakukan operasi hitung
campuran bilangan bulat; (A2) menyederhanakan pecahan; (A3)
menjumlahkan dan mengurangkan pecahan berpenyebut sama; serta (A4) menjumlahkan
dan mengurangkan pecahan berpenyebut tidak sama. Bila anak tidak menguasai satu
dari empat atribut, maka anak diasumsikan menjawab salah pada item yang
diberikan (h = 0).
Komponen “noisy”
pada model DINA berkaitan dengan parameter slip
dan guessing. Slip dan guessing merupakan parameter item. Slip terjadi ketika pada suatu item
tertentu seorang anak yang menguasai semua atribut gagal menjawab benar (Ying Liu et al., 2009). Sebaliknya, guessing terjadi ketika diberikan sebuah item, seorang anak yang
tidak menguasai sebagian atribut dapat menebak dan menjawab dengan benar item yang bersangkutan (de la Torre,
2008; de la Torre & Karelitz, 2009).
Komponen “And” gate
pada model DINA merujuk proses penentuan jawaban benar pada suatu item,
memerlukan penguasaan terhadap seluruh atribut (de la Torre, 2008). Artinya,
agar seorang anak dapat menjawab benar suatu item maka anak harus menguasai
seluruh atribut pada item tersebut. Kembali pada contoh sebelumnya, maka pola
penguasaan terhadap keempat atribut (A1, A2, A3,
dan A4) dapat diilustrasikan seperti Tabel 1.
Tabel 1
Kombinasi
Pola Penguasaan pada 4 Atribut
Pola (Latent class)
|
A1
|
A2
|
A3
|
A4
|
1.
|
0
|
0
|
0
|
0
|
2.
|
0
|
0
|
0
|
1
|
3.
|
0
|
0
|
1
|
0
|
4.
|
0
|
0
|
1
|
1
|
5.
|
0
|
1
|
0
|
0
|
6.
|
0
|
1
|
0
|
1
|
7.
|
0
|
1
|
1
|
0
|
8.
|
0
|
1
|
1
|
1
|
9.
|
1
|
0
|
0
|
0
|
10.
|
1
|
0
|
0
|
1
|
11.
|
1
|
0
|
1
|
0
|
12.
|
1
|
0
|
1
|
1
|
13.
|
1
|
1
|
0
|
0
|
14.
|
1
|
1
|
0
|
1
|
15.
|
1
|
1
|
1
|
0
|
16.
|
1
|
1
|
1
|
1
|
Berdasarkan Tabel 1, jawaban benar
seorang anak pada item , hanya terjadi
pada pola (latent class) 16. Pada pola ini, semua atribut dikuasai oleh anak
ditandai dengan pola 1 1 1 1. Sementara itu, pada 15 pola lainnya anak tidak
menguasai 3 atribut, 2 atribut, 1 atribut bahkan semua atribut dan pada model
DINA, jawaban anak seperti ini diasumsikan salah.
Referensi:
de
la Torre, J. (2008). DINA model and parameter estimation: A didactic. Journal
of Educational and Behavioral Statistics, 39 (1): 115-130.
de la Torre, J. & Karelitz, T.M. (2009). Impact
of diagnosticity on the adequacy of models for cognitive diagnosis under a
linear attribute structure: A simulation study. Journal of Educational
Measurement. 46 (4): 450-469.
Jahja Umar (2011). Penilaian dan peningkatan mutu pendidikan di Indonesia: Kumpulan
tulisan antara tahun 1988-2008. Jakarta: UIN Press.
Rupp, A.A., Templin, J. & Henson, R.A. (2010). Diagnostic measurement: Theory, methods and
applications. New York: The Guilford Press.
Templin, J. (2011). Diagnostic measurement: Theory, methods and application. Diambil
pada tanggal 8 Desember 2011 dari http://jtemplin.coe.uga.
edu/workshops/dcm/uga_ dcm1.html
Ying Liu, Douglas, J.A., & Henson, R.A. (2009).
Testing person fit in cognitive diagnosis. Applied Psychological
Measurement, 33 (8): 579-598.
Title Post: Mengenal Model DINA Untuk Diagnostik
Rating: 100% based on 99998 ratings. 5 user reviews.
Author: Unknown
Terimakasih sudah berkunjung di blog-kusaeri, Jika ada kritik dan saran silahkan tinggalkan komentar
Rating: 100% based on 99998 ratings. 5 user reviews.
Author: Unknown
Terimakasih sudah berkunjung di blog-kusaeri, Jika ada kritik dan saran silahkan tinggalkan komentar
0 komentar:
Posting Komentar