Sejak Boediono dipinang secara resmi oleh SBY untuk maju bersama dalam
pilpres bulan Juli 2009 mendatang,
istilah neoliberalisme seolah-olah menjadi istilah yang populer dalam perdebatan
publik baik di televisi maupun media cetak. Dalam perkembanganya istilah ini
menjadi begitu mudah dan sering disebut orang, bahkan banyak orang latah
mengucapkan istilah ini meskipun
kadangkala sebenarnya mereka belum tentu paham
maknanya. Neoliberalisme yang biasanya terbatas dikomsumsi para akademisi di kampus, sekarang populer
dan masuk dalam wilayah komoditas politik publik.
Bahkan lawan-lawan politik SBY menjadikan isu neoliberalisme ini sebagai amunisi untuk menyerang SBY. Caranya dengan memberikan gambaran kepada masyarakat baik melalui iklan, dialog, ataupun kampanye langsung bahwa pemerintahan SBY ke depan akan menjadi antek asing dan tak peduli dengan wong cilik.
Bahkan lawan-lawan politik SBY menjadikan isu neoliberalisme ini sebagai amunisi untuk menyerang SBY. Caranya dengan memberikan gambaran kepada masyarakat baik melalui iklan, dialog, ataupun kampanye langsung bahwa pemerintahan SBY ke depan akan menjadi antek asing dan tak peduli dengan wong cilik.
Tulisan ini tidak akan terjebak dan larut dalam membahas neoliberalisme dalam
konteks politik. Apapun ideologi yang diusung para capres, menurut hemat
penulis tidak penting. Yang terpenting adalah bila kelak mereka terpilih
menjadi presiden, mereka dapat memenuhi janji-janji politik yang diobral selama
masa kampanye sebulan lebih ini. Janji akan meningkatkan kesejahteraan rakyat,
berjuang untuk rakyat, menjamin stabilitas keamanan, dan lebih memperhatikan
dunia pendidikan adalah gambaran menu utama yang disajikan para capres dan tim
suksesnya dalam setiap kesempatan kampanye.
Janji akan lebih memperhatikan dunia pendidikan
menjadi paling menarik bagi kita yang berada di dunia pendidikan sebab, di
sinilah letak strategis bangsa ini ke depan.
Ancaman neoliberalisme atau apapun namanya dalam konteks
percaturan global, bila sumber daya manusia Indonesia disiapkan dengan baik maka
akan memunculkan ketahanan dan daya saing bangsa, sehingga tidak perlu
dipermasalahkan dan dikawatirkan. Oleh
karena itu, tulisan ini akan mencoba menyoroti bagaimana melakukan
langkah-langkah antisipatif dan preventif dalam menangkal serta menghadapi arus
neoliberalisme.
Apa itu
Neoliberalisme ?
Menurut
konsensus Washington (1999), neoliberalisme memiliki ciri utama sebagai berikut
: (1) terjadinya pasar bebas; (2) potong anggaran pemerintah untuk pelayanan
sosial dan pisahkan dari proses ekonomi; (3) profit is GOD dan hilangkan konsep
“ THE PUBLIC GOOD” atau “C OMMUNITY” dan ganti dengan “tanggung jawab
pribadi-individu; dan (4) galakan privatization.
Selanjutnya, apa agenda neoliberalisme dalam dunia pendidikan ?
Menurut
paham ini, guru adalah pekerja yang amat menentukan dan sekaligus dianggap
berhahaya. Sebab guru berkaitan erat dengan proses produksi sosial tenaga
kerja, mempersiapkan tenaga dengan pengetahuan dan ketrampilan, sikap serta
kepribadian yang sekaligus bisa
merupakan ancaman bagi proses tenaga kerja kapitalis. Oleh karena itu
pendidikan perlu dikontrol, agar pendidikan berjalan sebegitu rupa sehingga
tidak membahayakan proses produksi kapitalis. Salah satunya adalah dengan
mengendalikan kurikulum pendidikan guru dan penelitian pendidikan.
Pendidikan: Benteng Neoliberalisme
Memang, globalisasi dengan konsep neo-liberalnya yang melanda dunia pada
saat ini, mau tidak mau telah berpengaruh terhadap segala sektor kehidupan tanpa terkecuali sektor pendidikan yang ada
di Indonesia. Hal ini terbukti, dengan adanya indikasi beberapa kebijakan dan
praktek pendidikan yang mulai mengarah pada komersialisasi pendidikan. Misalnya, biaya pendidikan tinggi
yang semakin mahal di beberapa perguruan tinggi negeri berstatus BHMN, telah berdampak
pada semakin terbatasnya kesempatan masyarakat strata tertentu untuk dapat
mengenyam pendidikan tinggi berkualitas.
Agar pendidikan tidak menjadi objek dari sistem neo-liberal ini, tentu saja
pendidikan harus mampu memainkan peranan penting dalam kajian dan diskusi
kehidupan sosial neo-liberal. Karena dalam konteks ini sebenarnya pendidikan
dapat diperankan tidak hanya sekedar sebagai instrumen untuk mendapatkan barang
dan jasa, namun pendidikan dituntut mampu memberikan tekanan pada individu
bahwa penentu barang dan jasa yang akan dikonsumsi diputuskan secara bijak,
serta mengajarkan berkonsumsi dengan dasar informasi yang cukup, baik, benar,
dan jauh dari berlebih-lebihan atau
mubazir.
Pendidikan harus mampu menghasilkan individu-individu yang tangguh, yang
dapat bersaing dan berkompetisi dalam percaturan global. Individu-individu yang
mempunyai karakter disiplin, memiliki etos kerja tinggi, jujur, ulet dan
menghargai waktu merupakan individu yang dibutuhkan dalam era neo-liberal ini.
Namun, untuk menghasilkan individu-individu seperti yang diharapkan di atas,
dunia pendidikan sering terbentur dengan masalah pendanaan. Akibatnya,
komersialisasi pendidikan tidak dapat dielakkan.
Ada beberapa dampak yang bisa ditimbulkan bila terjadi komersialisasi
pendidikan. Pertama, komersialisasi pendidikan berdampak pada
terciptanya stratifikasi berdasarkan status sosial ekonomi para
siswa/mahasiswanya. Munculnya stratifikasi berdasarkan status sosial ekonomi
ini merupakan hal yang tak bisa dihindari, karena kecenderungannya orang tua
siswa dari kelompok menengah ke atas
akan memilih sekolah yang biayanya
mahal. Meski tidak sepenuhnya benar bahwa yang “mahal yang berkualitas”, kultur
masyarakat yang berkembang saat ini cenderung
masih melihat bahwa sesuatu yang mahal biasanya bagus dan yang murah umumnya rentan, cepet rusak, dan kurang
berkualitas. Kultur ini masih
mempengarahui sebagian besar masyarakat.
Kedua, komersialisasi pendidikan
mengakibatkan terjadinya ketimpangan mutu pendidikan. Ketimpangan mutu
pendidikan terjadi karena sekolah/PT
yang dapat menghimpun banyak dana dari masyarakat, maka mereka akan leluasa
melengkapi sarana dan prasarana yang dibutuhkan dalam pembelajaran. Sementara,
bagi sekolah/PT yang hanya mengandalkan kucuran dana dari pemerintah, seringkali
lambat dalam meningkatkan mutunya. Sekolah-sekolah di pedesaan juga akan
semakin timpang dengan sekolah-sekolah di perkotaan, karena umumnya sekolah di
pedesaan orang tua siswanya kebanyakan dari kalangan petani dan kaum yang termajinalkan. Terjadinya kesenjangan mutu pendidikan
apabila bila dibiarkan, maka akan dapat menebar benih-benih disharmonisasi
antar sekolah/PT bahkan antar komponen bangsa.
Ketiga, komersialisasi pendidikan
berdampak pada perubahan fungsi pendidikan menjadi aktivitas bisnis. Kita tahu bahwa prinsip para pelaku bisnis
adalah bila mereka melakukan investasi dalam bentuk penanaman modal, maka balikanya
adalah keuntungan. Dengan demikian, meraih keuntungan sebesar-besarnya merupakan
tujuan utamanya. Bila hal ini terjadi pada bidang pendidikan, maka orang tua
siswa/mahasiswa akan dieksploitasi sebesar-besarnya agar investasi untuk
membangun sarana prasarana yang telah dikeluarkan segera kembali. Misi sosial pendidikan dan
tujuan mencerdaskan masyarakat tergadaikan. Sekolah/PT yang menerapkan prinsip
ini dalam setiap aktivitasnya akan selalu mempertimbangkan untung rugi. Akibatnya, siswa yang membawa
keuntungan bagi lembaga saja yang diterima. Lalu, akan dikemanakan anak-anak bangsa
yang dipandang tidak membawa keuntungan?
Keempat, kapitalisme pendidikan mengakibatkan
kompetisi tidak sehat dalam penerimaan siswa dan mahasiswa baru. Pada tahun
ajaran baru seperti sekarang ini, orang tua siswa/mahasiswa sibuk mencarikan
anaknya agar dapat mengenyam pendidikan sesuai yang diharapkan. Kadangkala
muncul cara-cara yang tidak benar, dengan cara main mata dengan
pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Akibatnya, siswa dari keluarga strata
ekonomi yang termarginalkan menjadi korban dan harus tersingkir. Di sinilah
seringkali muncul kompetisi yang tidak sehat.
Untuk mengatasi berbagai permasalahan sosial yang
diakibatkan oleh komersialisasi pendidikan yang ada, maka campur tangan dan
kemauan politik (political will) pemerintah
yang menempatkan pendidikan sebagai investasi ke depan yang dibuktikan dengan pelaksanaan
sistem pendidikan yang adil, merata, bermutu, dan kompetitif sangat diperlukan. Oleh karena itu komitmen para pemimpin negara
dan penyelenggara negara siapapun orangnya sangat diharapkan memiliki sense of education yang memadai untuk
memajukan pendidikan di negeri ini. Karena kebijakan-kebijakan reformasi
pendidikan seperti : (1) model pengembangan kurikulum dan peningkatan sumber
daya pendidikan yang menjamin ketangguhan kompetisi di era globalisasi; (2)
pengembangan model subsidi pendidikan
yang menjamin keadilan dan pemerataan pendidikan; dan (3) model manajemen
pendidikan yang menjamin peningkatan mutu pendidikan merupakan bagian yang
harus mendapatkan perhatian pemerintah dalam menghadapi tantangan di era
global. Kembali pada agenda neoliberalisme pendidikan yang telah diuraikan
sebelumnya maka perlu dilakukan rekonstruksi kurikulum.
Rekonstruksi Kurikulum “Plus”
Di tengah percaturan global dan arus neo-liberal, dengan
segenap tantangan dan kesempatan yang terbuka, maka kemampuan, nilai dan sikap
yang perlu dikuasai oleh manusia terdidik Indonesia mengutip pernyataan
Soedijarto (2008) adalah manusia
terdidik yang memiliki: (1) kemampuan, nilai dan sikap yang memungkinkannya
berpartisipasi secara aktif dan cerdas dalam proses politik, (2) kemampuan, etos kerja dan disiplin kerja yang
memungkinkannya aktif dan produktif berpartisipasi dalam berbagai kegiatan
ekonomi, (3) kemampuan dan sikap ilmiah untuk dapat mengembangkan IPTEK melalui
kemampuan penelitian dan pengembangan, dan (4) kepribadian yang mantab,
berkarakter dan bermoral, serta berakhlak mulia.
Mengacu pada empat gugus kemampuan, nilai dan sikap di atas, muncul
pertanyaan: ”Materi pendidikan apakah yang harus dijadikan objek belajar?”
Undang-undang No. 20 Tahun 2003
memberikan jawaban materi-materi yang harus dijadikan objek belajar di
antaranya: pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan, bahasa, matematika,
ilmu pengetahuan alam, ilmu pengetahuan sosial, kerajinan tangan dan kesenian,
pendidikan jasmani dan kesehatan, menggambar dan bahasa Inggris.
Menjawab pertanyaan tentang mengapa
suatu bahan kajian harus ditempuh oleh siswa, Philip Phenix (1964) lewat
pengamatannya terhadap perkembangan peradaban, memandang perlunya generasi muda
siap melanjutkan perkembangan peradaban tersebut. Berangkat dari pemahamannya
tentang hakikat perkembangan peradaban, ia mengidentifikasikan enam wilayah
yang bermakna dalam menjadikan peserta didik memahami makna dunia di mana
mereka hidup dan mengembangkan diri. Keenam wilayah makna tersebut adalah symbolics, empirics, synnoitics,
aesthetics, ethics, dan synoptics. Symbolics mencakup bahasa,
matematika, dan berbagai simbol lainnya seperti bahasa tubuh (gesture), empiric
meliputi ilmu pengetahuan tentang
jagad raya, hewan, tumbuhan dan manusia. Synnoitics merupakan materi
yang dapat menimbulkan kesadaran langsung, aesthetics mencakup berbagai
jenis seni, seperti musik, tari, ataupun lukis, serta synoptics mencakup
sejarah, agama, dan filsafat.
Ada titik temu antara materi yang harus diberikan kepada siswa, menurut UU
No. 20 tahun 2003 dengan pendapat Philip Phenix.. Namun, yang terpenting sebaik
apapun suatu bahan kajian atau kurikulum yang dirancang bila tidak dilaksanakan
oleh guru yang memiliki kemampuan
profesional maka kurikulum tersebut kurang berarti. Ia hanya akan
menjadi seonggok kertas yang tiada arti. Pengalaman masa lalu menunjukkan bahwa
walaupun kurikulum telah disusun dengan baik ternyata belum dilaksanakan secara
baik di lapangan. Akibatnya, dunia pendidikan kita belum sanggup melahirkan
generasi yang utuh jati dirinya, ulet, dan beretos kerja tinggi sehingga mereka
mampu menghadapi arus global dan neo-liberal.
Pendidikan kita telah menghasilkan manusia yang cerdas,
tetapi seringkali kehilangan sikap jujur dan rendah hati. Pendidikan kita telah
menghasilkan manusia terampilan, tetapi seringkali kurang menghargai sikap
tenggang rasa dan toleransi. Imbasnya, nilai-nilai kesalehan, baik individu
maupun sosial, menjadi sirna. Bahkan di masyarakat, misalnya perilaku agama
sebagai salah satu kekuatan potensial seringkali hanya menjadi simbol.
Kesalehan sosial yang seharusnya dikembangkan di tengah-tengah kehidupan
bermasyarakat justru direduksi oleh kesalehan ritual yang seringkali tanpa
makna.
Memicu Kesadaran
Gencarnya isu neo-liberal
akhir-akhir ini, kiranya dapat menggugah kesadaran kita yang bergelut di dunia pendidikan untuk
bersama-sama memperbaiki dunia pendidikan. Penyikapan yang sinis terhadap isu
ini menunjukkan ketidaksiapan kita berkompetisi secara sehat dalam percaturan
global yang tidak bisa dihindari lagi. Kebersamaan semua pihak pemerintah/pemerintah daerah dan
masyarakat dalam sinergi yang menguntungkan, dengan tetap pada koridor
keberpihakan untuk memajukan pendidikan sangatlah diperlukan. Kapitalisasi
pendidikan, komersialisi pendidikan, atau apapun namanya hendaknya dihindari
dengan tetap berpegang pada kebersamaan ini.
Beberapa langkah penting
yang mesti dilakukan oleh pemerintah adalah sebagai berikut. Pertama,
melakukan rekonstruksi kurikulum ”plus.” Artinya, perlu dilakukan perombakan
kurikulum secara terus menerus dengan memperhatikan perkembangan sosial,
ekonomi, politik dan budaya yang diimbangi dengan pengembangan profesionalitas
guru. Sertifikasi guru yang terjadi saat ini belum menyentuh akar masalah,
hanya ritual administratif saja. Untuk itu perlu menengok apa yang dilakukan
oleh James B. Conant (1973) sebagai bagian dari reformasi pendidikan di Amerika
Serikat (AS) akibat ketinggalan AS dalam teknologi ruang angkasa, mensyaratkan
calon guru haruslah mereka (lulusan SMA) yang berada pada peringkat 20 persen
ke atas. Dalam konteks Indonesia, syarat itu bisa ditiru dan dimodifikasi
dengan menambahkan persyaratan harus mempunyai dedikasi dan komitmen yang kuat
serta memiliki jiwa sebagai pendidik. Dengan demikian, ke depan benar-benar
diperoleh guru-guru yang profesional.
Kedua, pemerintah perlu
memenetapkan kebijakan pemberian subsidi pendidikan yang menjamin
penyelenggaraan sistem pendidikan yang adil, merata, bermutu dan kompetitif. Kebijakan sekolah gratis yang saat ini diberlalukan,
perlu terus ditingkatkan dan dievaluasi. Apakah model sekolah gratis relevan
dengan kondisi pendidikan di Indonesia saat ini? Bukankah tawaran dari para ahli,
yakni model “sekolah terjangkau” perlu dipertimbangkan ke depan? Hal itu
mengingat pada “sekolah terjangkau” peran serta masyarakat utamanya mereka yang
secara stratifikasi sosial lebih mampu dari mereka yang termarginalkan dapat
diwadahi oleh sekolah. Subsidi silang pada “sekolah terjangkau” di antara stratum
yang ada merupakan wujud kepedulian
sesama dalam keadilan yang berperikemanusiaan
Ketiga,
pemerintah harus menyelenggarakan sistem pendidikan nasional yang adil, merata,
bermutu dan kompetitif agar dapat meraih kemakmuran dan kesejahteraan
masyarakat bangsa Indonesia. Dalam konteks ini, temuan Unesco (1996) yang
menyatakan bahwa perluasan kesempatan memperoleh pendidikan di negara
berkembang yang tidak didukung upaya peningkatan mutu bukannya akan menunjang
pembangunan bangsa, akan tetapi malah
melahirkan persoalan baru bangsa karena tenaga manusia yang dihasilkan tidak
berkualitas. Ini berarti sinyalemen Unesco tersebut harus disikapi oleh anak
bangsa dengan penuh maklum dan seharusnya tidak perlu terjadi.
Pada akhirnya ke depan kita tidak lagi mengirim para “kuli” dan “babu” ke
luar negeri yang tentu mereka dibayar murah, sedangkan kita mendatangkan para
konsultan asing dengan gaji selangit. Akan tetapi, kondisi itu berbalik dengan
mengirim tenaga ahli ke berbagai negara sebagai konsultan yang tentunya akan mendatangkan devisa negara yang
tidak kecil lagi. Harapan itu akan terwujud bila kita mampu bersaing dan
mempunyai kualitas lebih. Semoga presiden yang terpilih kelak adalah presiden
yang peduli terhadap dunia pendidikan, dan komit terhadap pentingnya sumber
daya manusia yang berkualitas, punya wisdom
dalam menyikapi intervensi asing. Bahkan jangan sampai terjadi
“tergadaikannya negeri ini bagi kepentingan asing, sehingga anak bangsa menjadi
orang asing di negeri sendiri.
Title Post: Neoliberalisme dalam Perspektif Pendidikan Kita
Rating: 100% based on 99998 ratings. 5 user reviews.
Author: Unknown
Terimakasih sudah berkunjung di blog-kusaeri, Jika ada kritik dan saran silahkan tinggalkan komentar
Rating: 100% based on 99998 ratings. 5 user reviews.
Author: Unknown
Terimakasih sudah berkunjung di blog-kusaeri, Jika ada kritik dan saran silahkan tinggalkan komentar
1 komentar:
gabisa di copy hhhhh
Posting Komentar