Bulan April ini, Ujian Nasional (UN) kembali digelar. Setiap kali dilangsungkannya hajatan ini, polemik yang
muncul selalu menyedot perhatian publik dan media. Terakhir, publik disuguhi isu
bocornya UN seperti dilansir majalah HAI (Metro TV, 3/4/2011). Isu tersebut
tentu harus disikapi secara hati-hati, terutama oleh siswa, guru dan orang tua.
Siapa tahu ada orang yang ingin mengais keuntungan pribadi di tengah
kegelisahan dan kegamangan anak menghadapi UN.
Polemik Lain yang
Berkembang
Di tengah berbagai isu miring yang menerpa UN, di kalangan
praktisi pendidikan sendiri hingga kini masih terbelah dalam menyikapi perlu tidaknya UN. Perdebatan
ini muncul karena di satu pihak (yang menolak UN) menggunakan pasal 58 ayat (1)
Undang-undang Sisdiknas, yakni ”Evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan
oleh pendidik
untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik
secara berkesinambungan.” Sementara
di pihak lain (yang setuju UN) menggunakan pasal 58 ayat (2): ”Evaluasi peserta didik, satuan pendidikan,
dan program pendidikan dilakukan oleh lembaga mandiri secara berkala,
menyeluruh, transparan, dan sistemik untuk menilai pencapaian standar nasional
pendidikan.” Terkait dengan hal
ini, penyelenggara UN adalah Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP).
Pemahaman yang dapat mempertemukan kedua sudut pandang
tersebut adalah kesamaan persepsi
tentang fungsi dan tujuan penilaian atau evaluasi hasil belajar. Penilaian hasil belajar yang
dilakukan oleh guru atau pihak sekolah
lebih berfungsi sebagai evaluasi formatif dan sumatif yang ditujukan untuk
memperoleh informasi ketercapaian hasil belajar dalam rangka perbaikan
pembelajaran. Di pihak lain, UN memiliki
fungsi sertifikasi dan seleksi pada jenjang berikutnya, di samping tujuan
pemantauan dan pemetaan mutu pendidikan (Reynolds et al., 2010). Meskipun rasionalisasi ini belum sepenuhnya dapat
diterima, yang jelas pemahaman fungsi dan bentuk penilaian oleh kedua pihak di atas
harus saling bersinergi.
Lepas dari semua polemik yang terus
bergulir, ada baiknya kita melihat jauh ke depan. Masih banyak PR yang
harus dibenahi, mulai payung hukum, lembaga penyelengara, mencegah bocornya
soal, pelaksanaan, maupun pengawasannya, agar penyelenggaraan UN di masa mendatang lebih
baik, profesional, dan akuntabel. Tulisan ini akan
mencoba mengkritisi sisi lain yang
jarang mendapat perhatian, namun bersifat fundamental yakni Undang-undang No.
20 tahun 2003 tentang Sisdiknas dan peraturan pemerintah (PP) No. 19 Tahun 2005
tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP). Pasalnya, kedua ketentuan di atas, selama ini dijadikan
sebagai payung hukum pelaksaan UN.
Beberapa Pasal Krusial
Dalam Undang-undang Sisdiknas, setidaknya ada tiga pasal yang
perlu dikoreksi. Pertama, pasal 1 ayat (21) tertulis: “Evaluasi pendidikan adalah
kegiatan pengendalian, penjaminan, dan penetapan mutu pendidikan terhadap
berbagai komponen pendidikan pada setiap jalur, jenjang, dan jenis pendidikan
sebagai bentuk pertanggungjawaban penyelenggaraan pendidikan.” Pengertian ini mengandung
kerancuan dan tidak sesuai dengan definisi dalam berbagai literatur. Bila
mengacu pendapat pakar evaluasi Grounlund
& Linn (1990), hakikat evaluasi pendidikan merupakan upaya sistematis dalam
rangka mengumpulkan, menganalisis, dan menginterpretasikan informasi guna menentukan
tingkat keberhasilan siswa dalam suatu program pembelajaran.
Kedua, pasal 35 ayat 1 memuat
delapan standar yang harus dipenuhi secara berkala oleh satuan pendidikan, yaitu standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana,
pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan. Ketentuan
ini dapat menjadi sumber penghambat bagi upaya peningkatan dan pemerataan pendidikan di
berbagai daerah dan satuan pendidikan.
Pasalnya, kondisi, potensi daerah dan satuan pendidikan sangat beragam. Menurut hemat penulis,
untuk memacu
mutu pendidikan, cukup ditetapkan standar kompetensi lulusan. Dengan adanya standar kompetensi lulusan, daerah dan
satuan pendidikan akan terangsang untuk memaksimalkan
potensinya masing-masing guna mencapai lulusan yang bermutu.
Ketiga, pada pasal 58 ayat (2) seperti
dikutip sebelumnya, tampak jelas pasal ini memerintahkan adanya lembaga ujian
eksternal yang mandiri guna mengevaluasi peserta didik. Namun, hingga kini
lembaga yang dimakud belum kunjung dibentuk. Adalah ganjil bila selama ini UN
diserahkan sepenuhnya kepada BSNP. Sangat
tidak fair dan kontradiktif, bila badan ini yang bertindak sebagai
regulator, pada akhirnya berfungsi pula
sebagai eksekutor dan evaluator UN.
Ketentuan di atas, diperparah dengan munculnya ‘turunan’ aturan
di bawahnya, berupa PP No. 19 Tahun 2005. Pasal 67 ayat (2) dinyatakan: “Dalam
penyelenggaraan ujian nasional, BSNP bekerja sama dengan instansi terkait di
lingkungan pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, dan
satuan pendidikan.” Ketentuan ini mengandung makna yang bertentangan dengan
prinsip penyelenggaraan UN secara profesional dan mandiri. Bila BSNP bekerja
sama dengan berbagai lembaga pemerintah lainnya dalam penyelenggaraan UN, maka
akan membuka peluang intervensi dan penyimpangan. Pasalnya, semua lembaga ini
memiliki kepentingan agar hasil UN sebaik mungkin, sehingga memungkinkan
terjadinya ‘conflict of interest.’ Untuk
menghindarinya, perlu dibentuk lembaga pengujian yang independen, dan memiliki struktur sampai di daerah tempat
penyelenggaraan ujian. Lembaga ini juga harus memiliki sumber daya manusia yang
memadahi dalam bidang administrasi ujian dan profesi pengukuran, penilaian, dan
evaluasi yang mengakar sampai ke daerah.
Sebagai benchmarking, beberapa negara telah memiliki lembaga pengujian seperti
disebutkan di atas. Misalnya, Malaysia, UN
dikendalikan oleh Lembaga Peperiksaan.
Lembaga ini sepenuhnya bertanggung jawab kepada Kementerian Pelajaran Malaysia.
Singapura memiliki Singapore Examination
and Assessment Board (SEAB), anggotanya diangkat oleh Menteri
Pendidikan melalui persetujuan parlemen
Singapura. Di Belanda dibentuk CEVO (De Centrale Examencommissie Vastteling
Opgaven) di bawah Kementerian Pendidikan, Kebudayaan dan Ilmu Pengetahuan
Belanda. Di Amerika Serikat, ujian nasional diserahkan sepenuhnya kepada
lembaga independen bernama ETS (Educational
Testing Service).
Terakhir,
semoga tawaran pemikiran ini dapat menjadi inspirasi
bagi pengambil kebijakan. Dengan demikian, sistem ujian di masa
mendatang lebih baik, bersih, kredibel, dan akuntabel. Namun, adakah political will pemerintah untuk itu???
Title Post: Mengkritisi Payung Hukum UN (Ujian Nasional)
Rating: 100% based on 99998 ratings. 5 user reviews.
Author: Unknown
Terimakasih sudah berkunjung di blog-kusaeri, Jika ada kritik dan saran silahkan tinggalkan komentar
Rating: 100% based on 99998 ratings. 5 user reviews.
Author: Unknown
Terimakasih sudah berkunjung di blog-kusaeri, Jika ada kritik dan saran silahkan tinggalkan komentar
0 komentar:
Posting Komentar